Mimpi. Awalnya, bagi Djamal, kata ini begitu sederhana dan sangat dekat dengan kehidupannya. Ia tinggal pergi tidur, maka mimpi pun datang tanpa basa-basi. Namun, beberapa hari terakhir kata tersebut menjadi rumit baginya. Tepatnya saat kawan sekelasnya, Sundari, perempuan yang diketahui Djamal keturunan asli Jawa itu mengatakan, "Aku punya mimpi jadi orang besar nanti."
Djamal tidak mengerti. Memangnya ingin sebesar apalagi kawannya itu? Tubuhnya sudah cukup gempal, hingga selalu berada di posisi paling belakang setiap lari pemanasan sebelum pelajaran olahraga.
"Bukan mimpi yang datang waktu tidur maksudku, tapi cita-cita. Aku ingin menjadi orang besar. Sukses dan kaya. Sudah besar nanti, aku akan merantau ke Jakarta." Sundari menjelaskan, tapi Djamal masih belum mengerti. Ia bertanya lagi, "Apa hubungannya menjadi orang besar dan merantau ke Jakarta, Ndar?"
Seketika kedua mata Sundari berbinar. "Kamu tahu kan, Jakarta itu ibukota negara. Kota besar, Mal. Menang jauh sama Kalianda. Kata bapakku, di Jakarta banyak gedung tinggi. Kalau kamu kerja di situ, kamu bisa dapat uang banyak."
"Kerja apa, Ndar?" sela Djamal, benar-benar penasaran. Pekerjaan yang dia tahu adalah bertani, berkebun, berdagang, jadi awak kapal, montir, guru, ngantor di balai desa. Kalau sedikit lebih keren, di kota sana, jadi pegawai kabupaten. Atau satu lagi pekerjaan yang menurut Djamal paling menarik, jadi pemandu wisata. Hanya itu.
Bekerja di gedung? Untuk sekedar membayangkannya saja, Djamal bingung.
Sama dengan Djamal, Sundari pun tampak bingung. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Iya ya, kerja apa? Nanti aku tanyain ke bapakku dulu, Mal."
Tapi, meskipun sempat bingung, Sundari tetap lanjut bercerita tentang Jakarta-nya. Kata Sundari, di sana semua jalanan berukuran besar dan beraspal, karena itu banyak mobil bagus yang lewat. Selain gedung tingginya yang dipakai bekerja, banyak juga gedung tinggi yang dipakai untuk liburan atau jalan-jalan. Lantainya bersih dan mengkilat, serta memiliki udara yang begitu sejuk. Sundari mengatakan, gedung di sana menggunakan teknologi seperti kipas angin yang lebih canggih.
Dari cerita Sundari, Jakarta yang disebutnya terdengar indah. Perempuan itu bahkan membandingkannya dengan Kalianda. Kota yang bagi Djamal sungguh sangat indah. Dari pulau tempat tinggalnya ini, kota tersebut dapat ditempuh selama satu setengah jam dengan perahu motor. Ada banyak pantai di sana. Sangat indah, seperti di pulaunya ini. Lautan biru dihiasi oleh pulau-pulau kecil yang membukit rendah di tengahnya. Pasir putih selalu bergemerisik dan sesekali terbawa oleh gerak debur ombak. Embusan anginnya sepoi-sepoi dan mampu menggoyangkan nyiur pohon kelapa di atas sana. Di sini Djamal bisa menikmati bentangan langit jingga, di timur saat pagi dan di barat saat sore. Belum lagi panorama menawan yang juga menyajikan bukti sejarah, gugusan Anak Krakatau. Bagaimana bisa ada tempat lain yang lebih indah?
***
Djamal terkesiap.
Seperti baru tersadar dari tidur panjang, kedua mata Djamal mengerjap untuk membenarkan penglihatannya. Tak jauh dari posisinya, tampak para warga dusun tergopoh-gopoh mengangkat berbagai hasil buminya ke atas perahu motor. Penyeberangan ke dermaga Canti berangkat sebentar lagi.
Pria tersebut bangun dari duduknya. Lalu, membersihkan serpihan pasir yang menempel di celananya dengan menepuk bagian yang kotor dan sesekali menggoyangkan kaki. Sebelum bergerak menuju perahu bersama penumpang lainnya, Djamal menarik napas panjang dan mendesahkannya pelan. Langkahnya sungguh berat.
Perjalannya tidak hanya sampai di dermaga Canti. Dari sana ia harus melanjutkan perjalanan ke pelabuhan Bakauheni, menyeberang hingga pelabuhan Merak, dan bergerak menuju ke sebuah tempat yang penuh dengan gedung tinggi dan jalan beraspal.
Ya. Jakarta. Yang tak seindah kata Sundari.
Subscribe to:
Posts (Atom)