Selamat tinggal.
Di sini aku akan bahagia.
Demikian bunyi surat yang ditulis oleh Suchart. Selembar kertas yang sudah kusut dan berwarna kecokelatan tersebut ditemukan di dekat mayatnya. Saat ditemukan, tubuh tak bernyawa pria itu tengah bergelantungan di pohon belakang rumah Nenek Lim. Wanita tua yang selalu membawa tongkat untuk membantunya berjalan, hidup sebatang kara, dan menghabiskan hari dengan mencari kerang di pinggiran laut.
Suchart melihat semua itu.
Ia adalah seorang pria lajang yang baru menginjak usia duapuluh tahun. Pria itu memang kerap mengisi hari-harinya di rumah Nenek Lim. Ia tidak memiliki saudara. Ibunya sudah meninggal tigabelas tahun yang lalu karena penyakit yang diderita bertahun-tahun. Sementara ayahnya yang seorang pemabuk hampir tidak pernah di rumah. Sudah dipastikan pria paruh baya itu tidak memenuhi kewajibannya sebagai orang tua. Suchart sendiri tidak pernah menuntut apapun. Selain menyadari dirinya telah dewasa, Suchart menjadi orang yang paling tahu melebihi siapapun bahwa ayahnya adalah seseorang yang sangat miskin.
Di sini aku akan bahagia.
Demikian bunyi surat yang ditulis oleh Suchart. Selembar kertas yang sudah kusut dan berwarna kecokelatan tersebut ditemukan di dekat mayatnya. Saat ditemukan, tubuh tak bernyawa pria itu tengah bergelantungan di pohon belakang rumah Nenek Lim. Wanita tua yang selalu membawa tongkat untuk membantunya berjalan, hidup sebatang kara, dan menghabiskan hari dengan mencari kerang di pinggiran laut.
Suchart melihat semua itu.
Ia adalah seorang pria lajang yang baru menginjak usia duapuluh tahun. Pria itu memang kerap mengisi hari-harinya di rumah Nenek Lim. Ia tidak memiliki saudara. Ibunya sudah meninggal tigabelas tahun yang lalu karena penyakit yang diderita bertahun-tahun. Sementara ayahnya yang seorang pemabuk hampir tidak pernah di rumah. Sudah dipastikan pria paruh baya itu tidak memenuhi kewajibannya sebagai orang tua. Suchart sendiri tidak pernah menuntut apapun. Selain menyadari dirinya telah dewasa, Suchart menjadi orang yang paling tahu melebihi siapapun bahwa ayahnya adalah seseorang yang sangat miskin.
Membantu Nenek Lim mengangkut kerang-kerangnya kepada para pengepul adalah satu-satunya usaha yang bisa ia lakukan untuk memenuhi kebutuhan perut. Meskipun tidak terlalu penyayang dan selalu bernada kasar saat berbicara, Nenek Lim masih berbaik hati untuk berbagi makanan dengan Suchart karena jasa yang telah dilakukannya. Hal itu sudah bagus. Suchart sama sekali tidak mengharapkan upah. Mengingat ia tidak pernah dipekerjakan oleh Nenek Lim.
Kehidupan Suchart dapat dengan mudah dicap sebagai kehidupan sengsara. Namun, bukan berarti tidak ada kebahagiaan di sana. Setiap orang dapat berbahagia asal mereka bisa menemukannya di tempat yang tepat. Dan bagi Suchart, kebahagiaan itu dijumpainya dalam diri Junta. Seorang gadis tetangga berusia limabelas tahun yang memiliki wajah manis dengan rambut ikal yang menjuntai indah. Tidak hanya baik rupa, Junta juga gadis yang baik sikap. Kadang-kadang ia datang membawakan makanan untuk Nenek Lim dan Suchart.
Suchart sungguh jatuh cinta dibuatnya.
Dibandingkan dengan Suchart, kehidupan Junta sedikit lebih baik. Gadis itu memiliki kedua orang tua dan saudara yang menyayanginya. Junta juga memiliki seorang paman yang bekerja di kota. Menurut warga, pamannya yang baik hati itu sering membantu kebutuhan ekonomi keluarga Junta. Bahkan sampai membantu perbaikan rumah kayu keluarga Junta menjadi tempat yang lebih layak.
Tapi toh, sayangnya, lebih baik tidak selamanya lebih beruntung. Junta mengalaminya. Satu minggu yang lalu, setelah didera oleh penyakit aneh sejak satu bulan sebelumnya, gadis berkulit sawo matang itu mengembuskan napas terakhir.
Sang gadis pujaan, kini telah tiada.
Suchart pun tidak bisa tinggal diam. Ia harus mengejar sumber kebahagiaannya. Ia harus menyusul gadis pujaannya. Tunggu aku Junta, aku akan segera menemuimu.
Pohon belakang rumah Nenek Lim menjadi tempat pilihan Suchart. Meskipun hampir dipastikan tidak ada seorangpun yang akan merasa kehilangan atas kematiannya, Suchart tetap menulis sebuah surat peninggalan. Ia berpikir, barangkali setidaknya Nenek Lim sedikit berbeda. Bagaimanapun mereka banyak menghabiskan waktu bersama.
Ahh. Lalu, di mana ini?
Sebelumnya Suchart sempat bertanya-tanya, apakah ia sudah benar-benar mati atau belum? Dan suasana di sekitarnya yang sangat dingin dan gelap gulita itu seolah menjawab, "Tentu saja kau sudah mati." Ya. Ia pasti sudah mati. Baguslah. Itu berarti kini dirinya sudah satu alam dengan Junta. Ia pun harus bersegera menemukan gadis itu.
Suchart sama sekali tidak bisa melihat apapun di hadapannya. Namun, meskipun sedikit gentar, ia tetap berjalan maju. Meneruskan usahanya menemukan Junta. Dan tidak sia-sia. Senyumnya pun mengembang ketika pandangannya menangkap sosok sang gadis pujaan berdiri tak jauh dari tempatnya. "Junta!" Suara serak Suchart menimbulkan gema.
"Suchart?" wajah Junta terkaget. "Apa yang sedang kau lakukan di sini? Ini bukan tempatmu."
Suchart menatap Junta dengan raut berseri. "Aku menyusulmu."
"Apa?" Bagaimana kau bisa sampai sini?"
"Aku membunuh diriku sendiri, Junta. Aku menggantung diriku di pohon milik Nenek Lim. Awalnya aku tidak yakin bisa kembali bertemu denganmu. Tapi aku membulatkan tekad. Dan benar saja, sekarang aku bisa melihatmu. Bukankah ini mengagumkan?" Suchart sedikit menggebu. Ia tidak menyangka jika di alam ini dirinya bisa bersemangat.
"Bodoh!" sela Junta cepat. "Tuhan akan menghukummu, Suchart!"
Kening Suchart berkerut. "Mengapa? Apakah Tuhan juga akan menghukummu?"
"Setidaknya hukumanku akan lebih ringan. Aku mati karena sakit. Ada kesempatan Tuhan akan mengampuni dosa-dosaku."
Raut Suchart berubah. "Lalu, bagaimana denganku?" Mendadak saja ia memikirkan dirinya sendiri.
"Tuhan membenci seseorang yang membunuh dirinya sendiri, Suchart. Bunuh diri adalah bentuk keputusasaan. Tuhan tidak menyukainya. Ayolah, ada banyak tempat di mana kau bisa menemukan kebahagiaan. Kau harus mencarinya. Yakinlah, kau akan menemukannya. Ku mohon, Suchart!"
Seperti sebuah adegan film yang berpindah secepat kilat, sosok Junta pun hilang dalam sekejap. Keadaan kembali dingin dan gelap gulita. Sampai tiba-tiba...
Byurrr!
Seolah tenggelam di dasar lautan, Suchart mendapati dirinya sangat sulit bernapas. "Buka matamu!" Kemudian sebuah teriakan membuat matanya terbelalak dalam satu gerakan cepat. "Nenek Lim? Benarkah itu kau? Apa kau juga sudah mati?" Suchart sungguh terheran. Ia tidak pernah berharap Nenek Lim akan menyusulnya.
"Mati saja sendiri. Tapi jangan di tempatku!" ujar Nenek Lim dengan nada tinggi. Wanita tua itu kemudian memutar tubuhnya dengan gerakan lambat dan melengang santai meninggalkan Suchart.
"A-apa?" Kedua alis Suchart terangkat.
"Mati saja sendiri. Tapi jangan di tempatku!" ujar Nenek Lim dengan nada tinggi. Wanita tua itu kemudian memutar tubuhnya dengan gerakan lambat dan melengang santai meninggalkan Suchart.
"A-apa?" Kedua alis Suchart terangkat.
Pria itu pun mulai menyadari sesuatu. Saat ini, tubuhnya yang basah kuyup tengah tergeletak tepat di bawah pohon. Meskipun silau oleh sinar matahari yang begitu terik, ia melempar pandangan ke berbagai arah. Di sana, ada rumah Nenek Lim dan juga pemiliknya yang baru saja berlalu melewati pintu kayu yang reyot dan tua. Lalu, kepalanya yang pusing dan nyeri mulai mengingat sesuatu lainnya.
Ah ya. Tadi, saat dirinya siap bergelantungan dan hendak melepas pijakan, wanita tua itu mengayunkan tongkatnya sekuat tenaga ke arah kepala Suchart. Sudah pasti ia jatuh pingsan seketika. Kini Suchart mengerti. Ia masih hidup dan perkara bunuh dirinya pun ternyata... gagal!
Ah ya. Tadi, saat dirinya siap bergelantungan dan hendak melepas pijakan, wanita tua itu mengayunkan tongkatnya sekuat tenaga ke arah kepala Suchart. Sudah pasti ia jatuh pingsan seketika. Kini Suchart mengerti. Ia masih hidup dan perkara bunuh dirinya pun ternyata... gagal!
-Tamat-
"... dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir." (Alquran 12:87)