“Kamu teman Diama kan?”
Alika
langsung menoleh. Gadis itu menahan napas sambil mengangguk. “I-iya, ada apa?”
“Sekarang
dia di mana?”
“Kayanya
dia ada di dalam kelas deh. Sebentar aku panggilin.” Alika langsung masuk ke
dalam kelas, mencari sosok Diama, dan berjalan lurus menuju temannya tersebut.
Gadis itu lalu duduk di depan meja menghadap Diama. “Hei. Michael Jordan
nyariin kamu tuh di depan. Mau ngapain ya dia?” Alika mengatakan itu dengan
suara pelan hampir berbisik.
“Apa?”
Diama mengalihkan perhatian dari bacaan di depannya. Gadis itu melepas sebelah earphone dari telinganya. “Kamu ngomong
apa sih? Ngga kedengeran tahu.”
“Ih
Diamaaa…”
“Kok ih siiih?
Habisnya yang kedengeran kamu malah sebut-sebut Michael Jordan.”
Alika tampak gemas.
“Iyaaa. Dan sekarang Michael Jordan nyariin kamu tuh di depan.”
“Hah?” Diama
mengangkat kedua alisnya heran. Ia tak mengerti dengan ucapan temannya, apa
benar pemain basket Amerika itu ke sini dan mencari dia? “Siapa yang cari aku?”
Alika memajukan
kedua bibirnya, mendesah pasrah, lalu mendekatkan wajahnya ke arah Diama. “Itu
lho, anak basket kelas 2 IPA 3 yang sedang nge-hits diobrolin anak-anak.”
Diama melebarkan
kedua matanya. “Mau apa dia?”
Alika mengangkat
bahu. “Udah buruan ke sana.” Diama menurut. Ia berdiri, menarik tangan Alika,
dan berjalan ke depan kelas. Di sana ia melihat seseorang yang Alika maksud.
“Kamu cari saya?”
Laki-laki itu, Ganang—siswa
kelas 2 IPA 3 juga anggota klub basket
sekolah yang sedang ramai dibicarakan seantero SMA Cendekia karena berhasil
membawa piala kejuaraan pertandingan basket SMA se-Jakarta—menoleh. “Hai.” Ia
menyapa, tapi terdengar hanya sebatas basa-basi.
“Ada apa?” Diama
bertanya langsung. Ia ingin segera menyelesaikan urusannya dengan laki-laki di
depannya tersebut. Diama menyadari bahwa mereka mulai menjadi pusat perhatian
anak-anak yang ada di sekitar dan melintasi mereka.
“Ada yang mau saya
bicarakan sama kamu.”
“Silakan.”
“Berdua. Jadi nggak
di sini.”
Diama melebarkan
kedua matanya. “Saya nggak mau, di sini aja.”
“Memang kenapa?
Saya nggak akan gigit atau cakar kamu.”
Diama melotot. “Nggak
mau aja… dan juga nggak boleh.”
Ganang tersenyum
setengah. Tampaknya gadis di hadapannnya ini cukup keras kepala. “Kalau nggak
mau, saya balik ke kelas,” lanjut Diama.
Benar. Keras
kepala. “Oke.” Ganang mencari-cari tempat di sekitar mereka yang cukup sepi.
“Tapi kita bicara di sana.” Ganang melempar pandangannya ke arah ujung dekat
tangga. Ia belum mendapati Diama setuju. “Please,”
lanjutnya. Diama masih terdiam, tampak berpikir membuat Ganang menarik napas. “Hai
Nona Diama. Itu ruangan terbuka, jadi kita nggak akan mutlak disebut berdua
kalau berdiri di sana.” Diama masih diam. “Atau mau di pos satpam? Biar bisa
bertiga dengan Pak Samad?” Ganang memberikan tawaran lain.
Diama menghela napas,
lalu memandang sekilas ke arah Alika yang sejak tadi berdiri terdiam di sebelah
mereka. “Aku ke situ sebentar ya,” ucapnya, lalu dianggukkan oleh Alika. Diama
berjalan ke sudut yang ditunjuk Ganang. Sementara itu, Ganang berjalan di belakang
Diama tanpa mendahului. Siswa itu tersenyum.
0 comments:
Post a Comment