"Huaaan..."
Laki-laki tersebut membuka matanya perlahan. Ia mendengar suara ibunya memanggil. Kedua matanya mengerjap setelah terkaget oleh cahaya matahari yang masuk melewati jendela. Jam berapa ini? Masih pagikah? Atau justru hari telah sore? Huan lalu tersenyum tipis, ia mengingat sesuatu. Jendela kamarnya menghadap ke arah barat.
"Huaaan... ayo sarapan dulu." Sebentar. Sarapan? Apakah ingatannya yang salah? Huan melebarkan mata dan memandangi setiap sudut kamarnya. Ia terkejut. Ini bukan kamarnya. Oh sebentar, tidak juga, ini adalah kamarnya. Namun ini bukan kamar yang ditempatinya beberapa waktu terakhir. Ini adalah kamar di rumahnya dulu. Di rumahnya yang sederhana dan terletak di kaki bukit.
"Huaaan... cepat keluar. Apa kau tidak akan berangkat sekolah?" Suara ibunya kembali terdengar. Apa? Tidak mungkin. Bagaimana bisa ia mendengar suara ibunya? Huan menelan pelan ludahnya. Kerongkongannya tercekat. Ia bangun dan berjalan menuju pintu kamarnya yang tertutup. Tangannya hampir saja menggerakkan engsel pintu saat kemudian ia mendengar suara lainnya.
"Kau lihat sendiri sekarang. Anak itu jadi malas begitu karena kau terlalu sering memanjakkannya." Apa? Itu adalah suara ayahnya. Tidak mungkin. Ia pun langsung membuka pintu kamarnya dalam satu gerakan cepat. Ia keluar dan berjalan menuju ruang makan. Kedua matanya melebar. Rasanya ia tidak ingin berkedip meski sejenak. Ia takut jika saat membuka mata nanti ia tidak akan menemukan ayah dan ibunya.
"Ada apa denganmu? Kenapa kau memandangi kami seperti itu?" ibunya yang tengah memotong buah pir bertanya dengan nada penuh heran.
"Apakah kau telah bermimpi buruk?" kali ini ayahnya yang bertanya. Sementara Huan masih terpaku menatap wajah ayah dan ibunya secara bergantian.
"Pasti karena semalam kau pulang larut dan bermain bola terlalu lama." Apa? Itu adalah suara kakaknya. Junse. Huan pun segera menoleh ke arah pintu kamar kakaknya yang terbuka. Matanya menyipit, mencoba menangkap sosok Junse di dalam kamar. Kakaknya tengah berkemeja rapi dan berdiri di depan cermin merapikan dasinya.
"Kenapa kau terdiam seperti itu? Cepat cuci wajahmu dan segera sarapan. Nanti kau terlambat ke sekolah." Huan tidak menurut. Ia tidak mencuci wajahnya dan justru langsung duduk di meja makan.
Kedua matanya masih menatap ayah dan ibunya. "Apakah aku sedang bermimpi?" tanya Huan dengan suara tercekat. Ayah dan ibunya saling memandang dan mengeluarkan tatapan heran. "Mimpi bagaimana? Sekarang kau ada di depan kami dan kami sedang menyuruhmu untuk segera makan. Apakah kau masih merasa sedang bermimpi?" ibunya menyahut sambil sibuk menyiapkan piring untuk Huan. Wanita tersebut menyendokan nasi dan bersiap menuangkan sup ke dalam sebuah mangkuk.
"Lalu bagaimana kalian selamat dari kapal penyeberangan yang tenggelam lima belas tahun yang lalu?"
Ibunya tersenyum. "Tentu saja karena ayahmu telah sekuat tenaga menaikkan kau, kakakmu, dan ibu ke atas sekoci, lalu mendayungnya hingga menemukan kampung nelayan. Apakah kau lupa?"
Huan terdiam dan mendengar suara ibunya. Suara ibunya yang terdengar sangat jelas. Bodoh. Tentu saja ini memang bukan mimpi.
"Huan..." ayahnya memanggil, Huan menoleh dan menatap ayahnya. "Sepertinya kau baru saja mimpi buruk. Kau mimpi apa, Nak? Ceritakan pada Ayah," lanjut ayahnya.
"Aku bermimpi..." Huan pun ingin menceritakan semua mimpinya. "Aku terdampar di sebuah pulau terpencil seorang diri. Aku bertemu dengan seorang nelayan tua yang kemudian menjadi ayah angkatku. Aku pun tinggal bersamanya. Aku membantu ayah angkatku tersebut menangkap ikan dan juga belajar membuat kapal kayu sederhana. Ia orang yang sangat baik. Ia menyekolahkanku di sekolah setempat. Lalu saat menginjak sekolah menengah, aku bersekolah di sebuah kota kecil. Ia juga orang yang pintar. Ia sering membelikanku berbagai buku, sehingga wawasanku luas. Aku pun pergi ke kota besar dan berkuliah di sana. Aku..." Huan memberikan jeda sejenak di tengah kalimatnya, lalu, "...sangat merindukan kalian. Aku pun berangkat ke kota ini, ingin melihat kondisi rumah kita. Menyedihkan. Karena rumah kita telah berubah menjadi bangunan lain. Aku pun pergi ke rumah Kakek dan Nenek. Mereka memelukku haru karena ternyata aku selamat. Saat itu aku sangat mengasihani diriku sendiri. Aku pun kembali pada ayah angkatku. Lalu, karena satu hal ia mengajakku pindah ke luar negeri. Aku menurut. Berharap bisa mengurangi rasa rinduku terhadap kalian. Tentang hanya aku yang selamat, Kakek dan Nenek benar. Di peristiwa itu, aku ingat, aku melihat Ayah, Ibu, dan Junse tertimpa sebuah besi bongkahan kapal berukuran. Sebuah pemandangan yang langsung membuatku tak sadarkan diri. Mimpiku sangat panjang bukan? Tapi baguslah kalau semua itu hanya mimpi." Huan menarik napas panjang di akhir kalimatnya. "Atau jika saat inilah yang mimpi, aku ingin seterusnya bermimpi," tambahnya sambil mendesah pelan.
Mar23,
Mar23,
Mar3,
Mar3,
Junichi
Sae memandang lekat sosok di hadapannya. Hal ini membuat Junichi yang tengah sibuk mengatur lensa kameranya menoleh. "Wajahku tampan?" tanyanya, lalu kembali memfokuskan perhatian pada kamera di tangannya. Pria tersebut masih berusaha untuk mengambil gambar sepasang burung pingai yang hinggap di pelataran dan sesekali melompat, "Karena kau diam, aku anggap iya. Ha ha."
Sae mendengus, lalu menyesap kopinya. Wanita itu kembali memandangi pria di depannya tersebut. Junichi masih sibuk dengan kameranya. Suasana hening. Meskipun sesekali terdengar percakapan pengunjung yang berada di meja lain.
"Sae..." panggil Junichi, lalu, "...menikahlah denganku," lanjutnya tanpa mengalihkan perhatian dari kameranya.
Sae sedikit terkejut. "A-apa?" tanyanya terbata.
"Kenapa?"
"Apakah kau serius?"
"Aku sengaja terbang dari Afrika hanya untuk mengatakan ini padamu. Aku serius," jawab Junichi. Masih dengan perhatian yang tertuju pada kameranya. Ia tampak sedang melihat-lihat di layar kamera hasil pengambilan gambarnya tadi.
Kedua alis Sae terangkat heran. Ia berpikir dan mengingat sesuatu, lalu tersenyum. "Kau sudah mengatakan itu padaku satu bulan yang lalu."
Junichi tersenyum. Meski wajahnya tertunduk menatap kamera, Sae bisa melihat itu. "Ya. Aku ingin mengatakannya sekali lagi," sahut Junichi.
"Bukankah seharusnya kau pulang minggu depan? Apakah kau sengaja pulang lebih awal hanya karena ingin mengatakan ini padaku?"
Junichi tidak menjawab. Ia justru kembali mengarahkan lensa kameranya pada sepasang burung pingai yang masih sibuk bermain di pelataran.
Sementara itu, Sae baru saja menolak lagi panggilan dari Kanako yang sudah sejak tadi berulang kali menelefon. Ia meletakkan ponselnya di meja, lalu meraih kopi untuk kemudian kembali disesapnya. Tak lama kemudian benda tersebut bergetar. Sebuah pesan singkat. Dari Kanako.
Sae menatap ponselnya sejenak sebelum ia membuka pesan dari sahabatnya tersebut. Sae pun membaca beberapa baris kalimat yang tertulis di layar. Wajahnya seketika tak bergeming. Ia meletakkan begitu saja ponselnya di meja. Perhatiannya lalu tertuju pada sosok di hadapannya. Junichi.
Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Empat detik. Lima detik. Kedua matanya mengerjap, lalu bibirnya melengkung tersenyum. "Junichi..." panggilnya dengan suara lirih, karena itu Junichi tampaknya tidak mendengar. "Jangan pergi dulu, aku akan ke toilet sebentar. Aku akan segera kembali. Tunggu aku... Junichi." Sae melanjutkan ucapannya. Namun, Junichi masih acuh, benar-benar tak mendengar. Sae hanya tersenyum. Hal ini sama sekali tidak membuatnya marah. Ia pun berlalu ke toilet wanita.
Lima menit kemudian, Sae kembali ke mejanya. Keningnya berkerut samar, memandang ke sekeliling, apakah ia salah meja? Ah... tapi tidak, ini memang mejanya. Sae teolah tersadar. Seketika kedua matanya melebar, kerongkongannya tercekat, dan tubuhnya sedikit bergetar. "Junichi..." panggilnya pelan. "Junichi..." Sae mengeraskan volume suaranya.
Kini kedua matanya memandang liar ke seluruh sudut. Suaranya yang memanggil Junichi berkali-kali pun semakin keras. "Junichi... Junichi.... Junichi... Junichi... Junichiiiiii!" Sae menjerit histeris. Ia segera menjadi pusat perhatian pengunjung yang lain. Mereka saling berbisik.
Ada apa dengan wanita itu? Sejak tadi ia hanya berbicara seorang diri. Kenapa sekarang berteriak-teriak? Apakah dia gila? Lebih baik kita segera memanggil keamanan. Aku kasihan melihatnya. Kira-kira ada apa dengannya?
Layar ponsel di meja tersebut pun masih menampilkan sebuah pesan singkat.
Sae mendengus, lalu menyesap kopinya. Wanita itu kembali memandangi pria di depannya tersebut. Junichi masih sibuk dengan kameranya. Suasana hening. Meskipun sesekali terdengar percakapan pengunjung yang berada di meja lain.
"Sae..." panggil Junichi, lalu, "...menikahlah denganku," lanjutnya tanpa mengalihkan perhatian dari kameranya.
Sae sedikit terkejut. "A-apa?" tanyanya terbata.
"Kenapa?"
"Apakah kau serius?"
"Aku sengaja terbang dari Afrika hanya untuk mengatakan ini padamu. Aku serius," jawab Junichi. Masih dengan perhatian yang tertuju pada kameranya. Ia tampak sedang melihat-lihat di layar kamera hasil pengambilan gambarnya tadi.
Kedua alis Sae terangkat heran. Ia berpikir dan mengingat sesuatu, lalu tersenyum. "Kau sudah mengatakan itu padaku satu bulan yang lalu."
Junichi tersenyum. Meski wajahnya tertunduk menatap kamera, Sae bisa melihat itu. "Ya. Aku ingin mengatakannya sekali lagi," sahut Junichi.
"Bukankah seharusnya kau pulang minggu depan? Apakah kau sengaja pulang lebih awal hanya karena ingin mengatakan ini padaku?"
Junichi tidak menjawab. Ia justru kembali mengarahkan lensa kameranya pada sepasang burung pingai yang masih sibuk bermain di pelataran.
Sementara itu, Sae baru saja menolak lagi panggilan dari Kanako yang sudah sejak tadi berulang kali menelefon. Ia meletakkan ponselnya di meja, lalu meraih kopi untuk kemudian kembali disesapnya. Tak lama kemudian benda tersebut bergetar. Sebuah pesan singkat. Dari Kanako.
Sae menatap ponselnya sejenak sebelum ia membuka pesan dari sahabatnya tersebut. Sae pun membaca beberapa baris kalimat yang tertulis di layar. Wajahnya seketika tak bergeming. Ia meletakkan begitu saja ponselnya di meja. Perhatiannya lalu tertuju pada sosok di hadapannya. Junichi.
Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Empat detik. Lima detik. Kedua matanya mengerjap, lalu bibirnya melengkung tersenyum. "Junichi..." panggilnya dengan suara lirih, karena itu Junichi tampaknya tidak mendengar. "Jangan pergi dulu, aku akan ke toilet sebentar. Aku akan segera kembali. Tunggu aku... Junichi." Sae melanjutkan ucapannya. Namun, Junichi masih acuh, benar-benar tak mendengar. Sae hanya tersenyum. Hal ini sama sekali tidak membuatnya marah. Ia pun berlalu ke toilet wanita.
Lima menit kemudian, Sae kembali ke mejanya. Keningnya berkerut samar, memandang ke sekeliling, apakah ia salah meja? Ah... tapi tidak, ini memang mejanya. Sae teolah tersadar. Seketika kedua matanya melebar, kerongkongannya tercekat, dan tubuhnya sedikit bergetar. "Junichi..." panggilnya pelan. "Junichi..." Sae mengeraskan volume suaranya.
Kini kedua matanya memandang liar ke seluruh sudut. Suaranya yang memanggil Junichi berkali-kali pun semakin keras. "Junichi... Junichi.... Junichi... Junichi... Junichiiiiii!" Sae menjerit histeris. Ia segera menjadi pusat perhatian pengunjung yang lain. Mereka saling berbisik.
Ada apa dengan wanita itu? Sejak tadi ia hanya berbicara seorang diri. Kenapa sekarang berteriak-teriak? Apakah dia gila? Lebih baik kita segera memanggil keamanan. Aku kasihan melihatnya. Kira-kira ada apa dengannya?
Layar ponsel di meja tersebut pun masih menampilkan sebuah pesan singkat.
Sae, kenapa kau tidak mengangkat telefonku? Kau di mana? Kenapa kau tidak datang ke pemakaman Junichi?
Subscribe to:
Posts (Atom)