Mar3,
Mar3,

Junichi

Sae memandang lekat sosok di hadapannya. Hal ini membuat Junichi yang tengah sibuk mengatur lensa kameranya menoleh. "Wajahku tampan?" tanyanya, lalu kembali memfokuskan perhatian pada kamera di tangannya. Pria tersebut masih berusaha untuk mengambil gambar sepasang burung pingai yang hinggap di pelataran dan sesekali melompat, "Karena kau diam, aku anggap iya. Ha ha."

Sae mendengus, lalu menyesap kopinya. Wanita itu kembali memandangi pria di depannya tersebut. Junichi masih sibuk dengan kameranya. Suasana hening. Meskipun sesekali terdengar percakapan pengunjung yang berada di meja lain.
"Sae..." panggil Junichi, lalu, "...menikahlah denganku," lanjutnya tanpa mengalihkan perhatian dari kameranya.
Sae sedikit terkejut. "A-apa?" tanyanya terbata.
"Kenapa?"
"Apakah kau serius?"
"Aku sengaja terbang dari Afrika hanya untuk mengatakan ini padamu. Aku serius," jawab Junichi. Masih dengan perhatian yang tertuju pada kameranya. Ia tampak sedang melihat-lihat di layar kamera hasil pengambilan gambarnya tadi.
Kedua alis Sae terangkat heran. Ia berpikir dan mengingat sesuatu, lalu tersenyum. "Kau sudah mengatakan itu padaku satu bulan yang lalu."
Junichi tersenyum. Meski wajahnya tertunduk menatap kamera, Sae bisa melihat itu. "Ya. Aku ingin mengatakannya sekali lagi," sahut Junichi.
"Bukankah seharusnya kau pulang minggu depan? Apakah kau sengaja pulang lebih awal hanya karena ingin mengatakan ini padaku?"
Junichi tidak menjawab. Ia justru kembali mengarahkan lensa kameranya pada sepasang burung pingai yang masih sibuk bermain di pelataran.

Sementara itu, Sae baru saja menolak lagi panggilan dari Kanako yang sudah sejak tadi berulang kali menelefon. Ia meletakkan ponselnya di meja, lalu meraih kopi untuk kemudian kembali disesapnya. Tak lama kemudian benda tersebut bergetar. Sebuah pesan singkat. Dari Kanako.

Sae menatap ponselnya sejenak sebelum ia membuka pesan dari sahabatnya tersebut. Sae pun membaca beberapa baris kalimat yang tertulis di layar. Wajahnya seketika tak bergeming. Ia meletakkan begitu saja ponselnya di meja. Perhatiannya lalu tertuju pada sosok di hadapannya. Junichi.
Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Empat detik. Lima detik. Kedua matanya mengerjap, lalu bibirnya melengkung tersenyum. "Junichi..." panggilnya dengan suara lirih, karena itu Junichi tampaknya tidak mendengar. "Jangan pergi dulu, aku akan ke toilet sebentar. Aku akan segera kembali. Tunggu aku... Junichi." Sae melanjutkan ucapannya. Namun, Junichi masih acuh, benar-benar tak mendengar. Sae hanya tersenyum. Hal ini sama sekali tidak membuatnya marah. Ia pun berlalu ke toilet wanita.

Lima menit kemudian, Sae kembali ke mejanya. Keningnya berkerut samar, memandang ke sekeliling, apakah ia salah meja? Ah... tapi tidak, ini memang mejanya. Sae teolah tersadar. Seketika kedua matanya melebar, kerongkongannya tercekat, dan tubuhnya sedikit bergetar. "Junichi..." panggilnya pelan. "Junichi..." Sae mengeraskan volume suaranya.
Kini kedua matanya memandang liar ke seluruh sudut. Suaranya yang memanggil Junichi berkali-kali pun semakin keras. "Junichi... Junichi.... Junichi... Junichi... Junichiiiiii!" Sae menjerit histeris. Ia segera menjadi pusat perhatian pengunjung yang lain. Mereka saling berbisik.
Ada apa dengan wanita itu? Sejak tadi ia hanya berbicara seorang diri. Kenapa sekarang berteriak-teriak? Apakah dia gila? Lebih baik kita segera memanggil keamanan. Aku kasihan melihatnya. Kira-kira ada apa dengannya?

Layar ponsel di meja tersebut pun masih menampilkan sebuah pesan singkat.
Sae, kenapa kau tidak mengangkat telefonku? Kau di mana? Kenapa kau tidak datang ke pemakaman Junichi?

0 comments:

Post a Comment

Copyright @ Gettar's | Floral Day theme designed by SimplyWP | Bloggerized by GirlyBlogger | Distributed by Deluxe Templates
Blogger Templates