Kutu Buku?
Saya cukup tertarik dengan salah satu dialog pada film tersebut, yaitu dialog antara si laki-laki pengunung (Joon Ho) dan si gadis librarian (Eun Soo).
Joon Ho: "Dia sangat suka membaca buku. Dia adalah seorang kutu buku."
Eun Soo: "Hey! Buku untuk manusia, bukan untuk seekor kutu!"
Kalimat yang diucapkan si gadis librarian memang membuat saya nyengir :D Saya tidak tahu, apakah di Korea juga ada istilah kutu buku seperti itu? Tetapi di terjemahan bahasa Indonesianya memang tertulis seperti itu. ^^
Terlepas ada atau tidaknya istilah tersebut dalam baasa Korea, saya cukup sependapat dengan si gadis librarian. Buku memang untuk manusia bukan untuk seekor kutu. Baiklah, mungkin itu hanya sebuah istilah. Orang yang sangat gemarmembaca buku, menelusuri dengan tekun sebuah buku, mungkin ibarat kutu yang juga dengan tekun menelusuri habitatnya. Misalnya kutu rambut yang sangat tekun menelusuri rambut demi rambut kepala seseorang yang menjadi habitatnya. (Saya benar-benar tidak suka membayangkannya! +_+) Mungkin seperti itu mengapa istilah kutu buku digunakan. Tetapi saya sendiri hanya menebak. Hehe.
Pertanyaan yang muncul dari pikiran saya adalah mengapa harus kutu? Saya yakin, bagi sebagian orang kutu adalah hewan yang tidak disukai. Iya kan? Dan fakta lain, seringkali karakter kutu buku digambarkan dengan seseorang yang culun, berkacamata besar dan tebal, serta tidak memiliki banyak teman. Bagi saya sih tidak seperti itu. Orang-orang yang gemar membaca buku justru sebaliknya. Selalu berpenampilan percaya diri, terlihat cerdas, dan gampang bergaul. Tapi mungkin masing-masing punya pendapat sesuai persepsinya.
Ya, itulah sekilas celotehan saya tentang kutu dan kutu buku. Tetapi apapun istilahnya, membaca merupakan sebuah kebutuhan. Tentu saja akan jauh lebih baik kalau sebuah kebutuhan menjadi suatu kegemaran. Tidak mempedulikan istilah kutu buku, yang penting gemar membaca itu harus! (Hehe, saya kira kalimat terakhir itu adalah paksaan. Jadi saya memaksa kalian harus rajin membaca..! ^^v)
Keep reading! :)
Para Bocah Itu...
Aku duduk tenang di tempatku. Damri tua yang kutumpangi melaju dengan kecepatan sedang melewati ruas-ruas jalan tol. Meskipun bus tua ini tidak terlalu penuh, tetapi bangku penumpang hampir seluruhnya terisi. Derasnya hujan membuat beberapa kali air menciprat masuk ke dalam melaui celah jendela dan pintu yang dibiarkan terbuka. Maklum, damri ini tak ber-AC sehingga pintu harus tetap terbuka agar udara di dalam tidak pengap.
Di depanku, di bangku yang menghadap ke samping, aku memperhatikan dua gadis kecil yang kuduga kakak beradik duduk dengan seorang lelaki paruh baya yang mungkin adalah ayahnya. Sepertinya usia kedua gadis kecil itu sekitar 7 sampai 10 tahun. Dengan wajah tak berekspresi kedua gadis itu terlihat sedang memperhatikan seorang bocah sebayanya yang tengah mengamen. Aku cukup penasaran. Kira-kira apa yang dipikirkan dua gadis tersebut saat itu?
Ku alihkan perhatianku. Sekarang aku terfokus pada telingaku. Aku masih menangkap suara lengkingan bocah pengamen tadi yang sedang menyanyikan salah satu lagu band. Suara bocah itu semakin meninggi berusaha mengalahkan deru mesin damri dan deru hujan yang bertambah deras. Tentu saja hal itu harus dilakukan bocah itu agar nyanyiannya dapat didengar oleh seluruh penghuni bus. Selesai menyanyi, bocah itu pun berkeliling dengan menengadahkan tangan untuk menerima recehan yang diberikan oleh para penumpang. Atau mungkin lebih tepatnya berharap menerima. Aku penasaran. Kira-kira bagaimana perasaan bocah itu?
Hujan telah berhenti. Damri telah keluar tol dan mulai melaju ke jalan raya. Aku melempar pandanganku ke arah luar melalui kaca jendela yang tak lagi bening. Karena lalu lintas yang macet, damri pun melaju perlahan. Pandanganku tertuju pada salah satu factory outlet. Beberapa mobil mewah berjejer parkir di halamannya. Kaca jendela bening dan besar menyajikan pemandangan produk-produk mewah yang dijual di dalamnya. Tepat di depan kaca tersebut kulihat tiga bocah, yang mungkin berumur 6 sampai 8 tahun, tengah bermain-main. Dua di antaranya perempuan dan satu lagi laki-laki. Mereka tampak kumal dengan pakaian lusuh yang melekat di tubuh-tubuh mungil mereka. Dengan menempelkan tubuhnya ke kaca jendela, mereka bercengkerama sambil melihat-lihat pemandangan di dalam factory outlet tersebut. Lagi-lagi aku penasaran. Kira-kira apa yang ada di pikiran mereka?
Entahlah. Aku tak pernah tau jawaban atas rasa penasaranku. Aku tak tahu apa yang dipikirkan atau bagaimana perasaan para bocah itu. Mungkin aku hanya bisa merasa iba melihat mereka. Dan mungkin orang lain pun merasakan iba sepertiku melihat para bocah itu. Mereka para bocah yang mengamen, atau mereka para bocah berpakaian lusuh yang bermain-main di pinggiran jalan. Lalu, kira-kira apakah mereka tahu bahwa orang lain merasa iba melihat mereka? Entahlah, lagi-lagi aku tak tahu jawabannya. Satu hal yang kutahu atas pemandangan para bocah itu adalah bahwa aku haruslah sangat bersyukur. Ya, sungguh aku harus sangat bersyukur bahwa masa kecilku tak seperti para bocah itu.
Hei para bocah… semoga Allah Sang Penyayang selalu melindungi kalian…
Keep Writing!
"Banyak orang menunggu mood untuk menulis. Sementara bagi sebagian lainnya, mood untuk menulis bangkit karena kuatnya keinginan menyampaikan ilmu dan kebenaran."
Kalimat di atas saya kutip dari buku Inspiring Words for Writers *sebuah buku yang dihadiahkan oleh seseorang untuk saya. Tidak dipungkiri bahwa mood menjadi salah satu faktor yang cukup berpengaruh dalam kegiatan menulis, dan saya yakin itu sering terjadi, baik saat kita membuat tulisan untuk tugas ataupun untuk yang lain. Seringkali terdengar lontaran-lontaran seperti "iya nih, lagi nggak mood buat nulis" atau "males nulis gue, lagi nggak mood, padahal banyak ide pada seliweran", yang akhirnya berujung pada kealpaan kegiatan ini. Mungkin seperti itulah jika kita menjadi bagian dari 'banyak orang yang menunggu' tersebut. Tetapi, jika kita memilih untuk menjadi bagian dari 'bagi sebagian lainnya' yang memiliki kuat keinginan hingga mood itu sendiri yang menghampiri, mungkin lontaran-lontaran seperti itu tidak berlaku. Islam mengajarkan bahwa segala sesuatu tergantung pada niatnya, innamal a'malu binniyat. Ya, ketika mood masih enggan menghampiri kita maka berniatlah. Niatkanlah sesuatu yang baik untuk kegiatan menulis kita. Niatkan bahwa kita menulis untuk dapat berbagi ilmu atau menyampaikan sesuatu yang benar. Dengan begitu insyaAllah mood pun dengan senang hati akan menghampiri kita. Ya! So, keep writing! ^^
- nasihat untuk diri sendiri :) -