Aug20,
Aug20,

Bunuh Diri

Selamat tinggal.
Di sini aku akan bahagia.

Demikian bunyi surat yang ditulis oleh Suchart. Selembar kertas yang sudah kusut dan berwarna kecokelatan tersebut ditemukan di dekat mayatnya. Saat ditemukan, tubuh tak bernyawa pria itu tengah bergelantungan di pohon belakang rumah Nenek Lim. Wanita tua yang selalu membawa tongkat untuk membantunya berjalan, hidup sebatang kara, dan menghabiskan hari dengan mencari kerang di pinggiran laut.

Suchart melihat semua itu.

Ia adalah seorang pria lajang yang baru menginjak usia duapuluh tahun. Pria itu memang kerap mengisi hari-harinya di rumah Nenek Lim. Ia tidak memiliki saudara. Ibunya sudah meninggal tigabelas tahun yang lalu karena penyakit yang diderita bertahun-tahun. Sementara ayahnya yang seorang pemabuk hampir tidak pernah di rumah. Sudah dipastikan pria paruh baya itu tidak memenuhi kewajibannya sebagai orang tua. Suchart sendiri tidak pernah menuntut apapun. Selain menyadari dirinya telah dewasa, Suchart menjadi orang yang paling tahu melebihi siapapun bahwa ayahnya adalah seseorang yang sangat miskin.

Membantu Nenek Lim mengangkut kerang-kerangnya kepada para pengepul adalah satu-satunya usaha yang bisa ia lakukan untuk memenuhi kebutuhan perut. Meskipun tidak terlalu penyayang dan selalu bernada kasar saat berbicara, Nenek Lim masih berbaik hati untuk berbagi makanan dengan Suchart karena jasa yang telah dilakukannya. Hal itu sudah bagus. Suchart sama sekali tidak mengharapkan upah. Mengingat ia tidak pernah dipekerjakan oleh Nenek Lim.

Kehidupan Suchart dapat dengan mudah dicap sebagai kehidupan sengsara. Namun, bukan berarti tidak ada kebahagiaan di sana. Setiap orang dapat berbahagia asal mereka bisa menemukannya di tempat yang tepat. Dan bagi Suchart, kebahagiaan itu dijumpainya dalam diri Junta. Seorang gadis tetangga berusia limabelas tahun yang memiliki wajah manis dengan rambut ikal yang menjuntai indah. Tidak hanya baik rupa, Junta juga gadis yang baik sikap. Kadang-kadang ia datang membawakan makanan untuk Nenek Lim dan Suchart.

Suchart sungguh jatuh cinta dibuatnya.

Dibandingkan dengan Suchart, kehidupan Junta sedikit lebih baik. Gadis itu memiliki kedua orang tua dan saudara yang menyayanginya. Junta juga memiliki seorang paman yang bekerja di kota. Menurut warga, pamannya yang baik hati itu sering membantu kebutuhan ekonomi keluarga Junta. Bahkan sampai membantu perbaikan rumah kayu keluarga Junta menjadi tempat yang lebih layak.

Tapi toh, sayangnya, lebih baik tidak selamanya lebih beruntung. Junta mengalaminya. Satu minggu yang lalu, setelah didera oleh penyakit aneh sejak satu bulan sebelumnya, gadis berkulit sawo matang itu mengembuskan napas terakhir.

Sang gadis pujaan, kini telah tiada.

Suchart pun tidak bisa tinggal diam. Ia harus mengejar sumber kebahagiaannya. Ia harus menyusul gadis pujaannya. Tunggu aku Junta, aku akan segera menemuimu.

Pohon belakang rumah Nenek Lim menjadi tempat pilihan Suchart. Meskipun hampir dipastikan tidak ada seorangpun yang akan merasa kehilangan atas kematiannya, Suchart tetap menulis sebuah surat peninggalan. Ia berpikir, barangkali setidaknya Nenek Lim sedikit berbeda. Bagaimanapun mereka banyak menghabiskan waktu bersama.

Ahh. Lalu, di mana ini?

Sebelumnya Suchart sempat bertanya-tanya, apakah ia sudah benar-benar mati atau belum? Dan suasana di sekitarnya yang sangat dingin dan gelap gulita itu seolah menjawab, "Tentu saja kau sudah mati." Ya. Ia pasti sudah mati. Baguslah. Itu berarti kini dirinya sudah satu alam dengan Junta. Ia pun harus bersegera menemukan gadis itu.

Suchart sama sekali tidak bisa melihat apapun di hadapannya. Namun, meskipun sedikit gentar, ia tetap berjalan maju. Meneruskan usahanya menemukan Junta. Dan tidak sia-sia. Senyumnya pun mengembang ketika pandangannya menangkap sosok sang gadis pujaan berdiri tak jauh dari tempatnya. "Junta!" Suara serak Suchart menimbulkan gema.

"Suchart?" wajah Junta terkaget. "Apa yang sedang kau lakukan di sini? Ini bukan tempatmu."
Suchart menatap Junta dengan raut berseri. "Aku menyusulmu."
"Apa?" Bagaimana kau bisa sampai sini?"
"Aku membunuh diriku sendiri, Junta. Aku menggantung diriku di pohon milik Nenek Lim. Awalnya aku tidak yakin bisa kembali bertemu denganmu. Tapi aku membulatkan tekad. Dan benar saja, sekarang aku bisa melihatmu. Bukankah ini mengagumkan?" Suchart sedikit menggebu. Ia tidak menyangka jika di alam ini dirinya bisa bersemangat.
"Bodoh!" sela Junta cepat. "Tuhan akan menghukummu, Suchart!"
Kening Suchart berkerut. "Mengapa? Apakah Tuhan juga akan menghukummu?"
"Setidaknya hukumanku akan lebih ringan. Aku mati karena sakit. Ada kesempatan Tuhan akan mengampuni dosa-dosaku."
Raut Suchart berubah. "Lalu, bagaimana denganku?" Mendadak saja ia memikirkan dirinya sendiri.
"Tuhan membenci seseorang yang membunuh dirinya sendiri, Suchart. Bunuh diri adalah bentuk keputusasaan. Tuhan tidak menyukainya. Ayolah, ada banyak tempat di mana kau bisa menemukan kebahagiaan. Kau harus mencarinya. Yakinlah, kau akan menemukannya. Ku mohon, Suchart!"

Seperti sebuah adegan film yang berpindah secepat kilat, sosok Junta pun hilang dalam sekejap. Keadaan kembali dingin dan gelap gulita. Sampai tiba-tiba...

Byurrr!

Seolah tenggelam di dasar lautan, Suchart mendapati dirinya sangat sulit bernapas. "Buka matamu!" Kemudian sebuah teriakan membuat matanya terbelalak dalam satu gerakan cepat. "Nenek Lim? Benarkah itu kau? Apa kau juga sudah mati?" Suchart sungguh terheran. Ia tidak pernah berharap Nenek Lim akan menyusulnya.
"Mati saja sendiri. Tapi jangan di tempatku!" ujar Nenek Lim dengan nada tinggi. Wanita tua itu kemudian memutar tubuhnya dengan gerakan lambat dan melengang santai meninggalkan Suchart.
"A-apa?" Kedua alis Suchart terangkat.

Pria itu pun mulai menyadari sesuatu. Saat ini, tubuhnya yang basah kuyup tengah tergeletak tepat di bawah pohon. Meskipun silau oleh sinar matahari yang begitu terik, ia melempar pandangan ke berbagai arah. Di sana, ada rumah Nenek Lim dan juga pemiliknya yang baru saja berlalu melewati pintu kayu yang reyot dan tua. Lalu, kepalanya yang pusing dan nyeri mulai mengingat sesuatu lainnya.

Ah ya. Tadi, saat dirinya siap bergelantungan dan hendak melepas pijakan, wanita tua itu mengayunkan tongkatnya sekuat tenaga ke arah kepala Suchart. Sudah pasti ia jatuh pingsan seketika. Kini Suchart mengerti. Ia masih hidup dan perkara bunuh dirinya pun ternyata... gagal!


-Tamat-


"... dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir." (Alquran 12:87)


Jul4,
Jul4,

Tarawih at MRU

Finally, it's paid off. Salah jamaah at Masjid Raya Unpad or MRU. Since my friend (let's call her Kim Nunik) was taking care of her ijazah on campus, two days ago I met her in Jatinangor. We started with meeting at Jatinangor Town Square (Jatos), looking for the ta'jil, and did Maghrib prayer. Of course, like usual we loved to haha-hihi at our first meet. Just because we were really happy with our meeting. Ha ha. :D
After that, we went to the Warung Suroboyo which it's location near from Jatos. We were breaking the fast with pecel lele as our favorite menu (or maybe my favorite one, hi hi)

From there, we went to the Masjid Raya Unpad for tarawih. But, since we were late because our dinner was took so long (oh no, actually because Kim Nunik went to the dorm first to put our friend's room key and waiting for another friends  to prepare tarawih, that makes me wait alone in front of Alfamart -.-), so our Isha prayer was left behind. Therefore, we were in a hurry alias grusa-grusu -,-". But, alhamdulillah we could start tarawih on time. Because there was tausiyah before it began, and we did the Isha prayer during it.


By the way, Masjid Raya Unpad has unique architecture design. It is not like a most of another masjid. But it does not make the ambience become less. It is stay islami. :)
Woman area is on the second floor. Yeah, I feel comfort and so glad. When I was a student in this college, I really miss the presence of a campus's masjid which so 'alive'. And now it really comes. Alhamdulillah :))

May Allah shower the Masjid Raya Unpad and it's jamaah with blessing and makes it as a nice place to share Islam value for many people. Aamiin.






Jun22,
Jun22,

Outliers (Book)


I've just finished read a book. Outliers by Malcolm Gladwell. This book is one of the non fiction book that makes me not be patient to read  the next page. Every story he told makes me curious about how the ending. There is always a 'surprise point' on each the stories, so I often nodded and said to myself, "Oh iya ya? Masa sih?" Then, smile.

Outliers tells about success. In my opinion Gladwell's point of view is unique. He argues that to understand about successful people, we need to know about their 'background', such as their family, their birthplace, or even their birth date.This book say as if people's success depends on their generation, family, culture, and social class. Yeah, his perspective is different than most people. :)

I also like Gladwell's writing style. Since this book is full of the story, it is like a novel. I really enjoy it.

Practice isn't the thing you do once you;re good. It's the thing you do that makes you good.
Who we are cannot be separated from where we are from.
 Achievement is talent plus preparation.

image source: here (I haven't take this book picture :D)
Jun20,
Jun20,

Ramadhan Kareem



Alhamdulillah today is the third day of Ramadhan. I'm very grateful because this time I do the Ramadhan at home (actually at my older brother's home in Bandung, hihi). Since I've resigned from my former NGO in Jakarta this month, so I've came back to Bandung.

Of course, it's make my feeling mixed like colorful palette on canvas, between glad and sad. Glad because i have more time to gathered with my family and also could focus to pray better. Sad because it means now I'm an unemployed. :D

But overall it's okay for me. Allah always guarantee rezeki for everyone, include me. Even rezeki for a small animal like a termite is guaranteed by Allah. The most important thing is never stop to make du'a, keep effort, and keep try to become a better person who can share values for other people. InshaaAllah.

May Allah bless me and my family until the end of Ramadhan. And keep us together until jannah. Aamiin. :)


image source: here
May16,
May16,

Kata Sundari

Mimpi. Awalnya, bagi Djamal, kata ini begitu sederhana dan sangat dekat dengan kehidupannya. Ia tinggal pergi tidur, maka mimpi pun datang tanpa basa-basi. Namun, beberapa hari terakhir kata tersebut menjadi rumit baginya. Tepatnya saat kawan sekelasnya, Sundari, perempuan yang diketahui Djamal keturunan asli Jawa itu mengatakan, "Aku punya mimpi jadi orang besar nanti."

Djamal tidak mengerti. Memangnya ingin sebesar apalagi kawannya itu? Tubuhnya sudah cukup gempal, hingga selalu berada di posisi paling belakang setiap lari pemanasan sebelum pelajaran olahraga.
"Bukan mimpi yang datang waktu tidur maksudku, tapi cita-cita. Aku ingin menjadi orang besar. Sukses dan kaya. Sudah besar nanti, aku akan merantau ke Jakarta." Sundari menjelaskan, tapi Djamal masih belum mengerti. Ia bertanya lagi, "Apa hubungannya menjadi orang besar dan merantau ke Jakarta, Ndar?"

Seketika kedua mata Sundari berbinar. "Kamu tahu kan, Jakarta itu ibukota negara. Kota besar, Mal. Menang jauh sama Kalianda. Kata bapakku, di Jakarta banyak gedung tinggi. Kalau kamu kerja di situ, kamu bisa dapat uang banyak."
"Kerja apa, Ndar?" sela Djamal, benar-benar penasaran. Pekerjaan yang dia tahu adalah bertani, berkebun, berdagang, jadi awak kapal, montir, guru, ngantor di balai desa. Kalau sedikit lebih keren, di kota sana, jadi pegawai kabupaten. Atau satu lagi pekerjaan yang menurut Djamal paling menarik, jadi pemandu wisata. Hanya itu.
Bekerja di gedung? Untuk sekedar membayangkannya saja, Djamal bingung.

Sama dengan Djamal, Sundari pun tampak bingung. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Iya ya, kerja apa? Nanti aku tanyain ke bapakku dulu, Mal."
Tapi, meskipun sempat bingung, Sundari tetap lanjut bercerita tentang Jakarta-nya. Kata Sundari, di sana semua jalanan berukuran besar dan beraspal, karena itu banyak mobil bagus yang lewat. Selain gedung tingginya yang dipakai bekerja, banyak juga gedung tinggi yang dipakai untuk liburan atau jalan-jalan. Lantainya bersih dan mengkilat, serta memiliki udara yang begitu sejuk. Sundari mengatakan, gedung di sana menggunakan teknologi seperti kipas angin yang lebih canggih.

Dari cerita Sundari, Jakarta yang disebutnya terdengar indah. Perempuan itu bahkan membandingkannya dengan Kalianda. Kota yang bagi Djamal sungguh sangat indah. Dari pulau tempat tinggalnya ini, kota tersebut dapat ditempuh selama satu setengah jam dengan perahu motor. Ada banyak pantai di sana. Sangat indah, seperti di pulaunya ini. Lautan biru dihiasi oleh pulau-pulau kecil yang membukit rendah di tengahnya. Pasir putih selalu bergemerisik dan sesekali terbawa oleh gerak debur ombak. Embusan anginnya sepoi-sepoi dan mampu menggoyangkan nyiur pohon kelapa di atas sana. Di sini Djamal bisa menikmati bentangan langit jingga, di timur saat pagi dan di barat saat sore. Belum lagi panorama menawan yang juga menyajikan bukti sejarah, gugusan Anak Krakatau. Bagaimana bisa ada tempat lain yang lebih indah?

***

Djamal terkesiap.
Seperti baru tersadar dari tidur panjang, kedua mata Djamal mengerjap untuk membenarkan penglihatannya. Tak jauh dari posisinya, tampak para warga dusun tergopoh-gopoh mengangkat berbagai hasil buminya ke atas perahu motor. Penyeberangan ke dermaga Canti berangkat sebentar lagi.

Pria tersebut bangun dari duduknya. Lalu, membersihkan serpihan pasir yang menempel di celananya dengan menepuk bagian yang kotor dan sesekali menggoyangkan kaki. Sebelum bergerak menuju perahu bersama penumpang lainnya, Djamal menarik napas panjang dan mendesahkannya pelan. Langkahnya sungguh berat.

Perjalannya tidak hanya sampai di dermaga Canti. Dari sana ia harus melanjutkan perjalanan ke pelabuhan Bakauheni, menyeberang hingga pelabuhan Merak, dan bergerak menuju ke sebuah tempat yang penuh dengan gedung tinggi dan jalan beraspal.

Ya. Jakarta. Yang tak seindah kata Sundari.
Mar23,
Mar23,

Mimpi Huan

"Huaaan..."
Laki-laki tersebut membuka matanya perlahan. Ia mendengar suara ibunya memanggil. Kedua matanya mengerjap setelah terkaget oleh cahaya matahari yang masuk melewati jendela. Jam berapa ini? Masih pagikah? Atau justru hari telah sore? Huan lalu tersenyum tipis, ia mengingat sesuatu. Jendela kamarnya menghadap ke arah barat.
"Huaaan... ayo sarapan dulu." Sebentar. Sarapan? Apakah ingatannya yang salah? Huan melebarkan mata dan memandangi setiap sudut kamarnya. Ia terkejut. Ini bukan kamarnya. Oh sebentar, tidak juga, ini adalah kamarnya. Namun ini bukan kamar yang ditempatinya beberapa waktu terakhir. Ini adalah kamar di rumahnya dulu. Di rumahnya yang sederhana dan terletak di kaki bukit.
"Huaaan... cepat keluar. Apa kau tidak akan berangkat sekolah?" Suara ibunya kembali terdengar. Apa? Tidak mungkin. Bagaimana bisa ia mendengar suara ibunya? Huan menelan pelan ludahnya. Kerongkongannya tercekat. Ia bangun dan berjalan menuju pintu kamarnya yang tertutup. Tangannya hampir saja menggerakkan engsel pintu saat kemudian ia mendengar suara lainnya.
"Kau lihat sendiri sekarang. Anak itu jadi malas begitu karena kau terlalu sering memanjakkannya." Apa? Itu adalah suara ayahnya. Tidak mungkin. Ia pun langsung membuka pintu kamarnya dalam satu gerakan cepat. Ia keluar dan berjalan menuju ruang makan. Kedua matanya melebar. Rasanya ia tidak ingin berkedip meski sejenak. Ia takut jika saat membuka mata nanti ia tidak akan menemukan ayah dan ibunya.
"Ada apa denganmu? Kenapa kau memandangi kami seperti itu?" ibunya yang tengah memotong buah pir bertanya dengan nada penuh heran.
"Apakah kau telah bermimpi buruk?" kali ini ayahnya yang bertanya. Sementara Huan masih terpaku menatap wajah ayah dan ibunya secara bergantian.
"Pasti karena semalam kau pulang larut dan bermain bola terlalu lama." Apa? Itu adalah suara kakaknya. Junse. Huan pun segera menoleh ke arah pintu kamar kakaknya yang terbuka. Matanya menyipit, mencoba menangkap sosok Junse di dalam kamar. Kakaknya tengah berkemeja rapi dan berdiri di depan cermin merapikan dasinya.
"Kenapa kau terdiam seperti itu? Cepat cuci wajahmu dan segera sarapan. Nanti kau terlambat ke sekolah." Huan tidak menurut. Ia tidak mencuci wajahnya dan justru langsung duduk di meja makan.
Kedua matanya masih menatap ayah dan ibunya. "Apakah aku sedang bermimpi?" tanya Huan dengan suara tercekat. Ayah dan ibunya saling memandang dan mengeluarkan tatapan heran. "Mimpi bagaimana? Sekarang kau ada di depan kami dan kami sedang menyuruhmu untuk segera makan. Apakah kau masih merasa sedang bermimpi?" ibunya menyahut sambil sibuk menyiapkan piring untuk Huan. Wanita tersebut menyendokan nasi dan bersiap menuangkan sup ke dalam sebuah mangkuk.
"Lalu bagaimana kalian selamat dari kapal penyeberangan yang tenggelam lima belas tahun yang lalu?"
Ibunya tersenyum. "Tentu saja karena ayahmu telah sekuat tenaga menaikkan kau, kakakmu, dan ibu ke atas sekoci, lalu mendayungnya hingga menemukan kampung nelayan. Apakah kau lupa?"
Huan terdiam dan mendengar suara ibunya. Suara ibunya yang terdengar sangat jelas. Bodoh. Tentu saja ini memang bukan mimpi.
"Huan..." ayahnya memanggil, Huan menoleh dan menatap ayahnya. "Sepertinya kau baru saja mimpi buruk. Kau mimpi apa, Nak? Ceritakan pada Ayah," lanjut ayahnya.
"Aku bermimpi..." Huan pun ingin menceritakan semua mimpinya. "Aku terdampar di sebuah pulau terpencil seorang diri. Aku bertemu dengan seorang nelayan tua yang kemudian menjadi ayah angkatku. Aku pun tinggal bersamanya. Aku membantu ayah angkatku tersebut menangkap ikan dan juga belajar membuat kapal kayu sederhana. Ia orang yang sangat baik. Ia menyekolahkanku di sekolah setempat. Lalu saat menginjak sekolah menengah, aku bersekolah di sebuah kota kecil. Ia juga orang yang pintar. Ia sering membelikanku berbagai buku, sehingga wawasanku luas. Aku pun pergi ke kota besar dan berkuliah di sana. Aku..." Huan memberikan jeda sejenak di tengah kalimatnya, lalu, "...sangat merindukan kalian. Aku pun berangkat ke kota ini, ingin melihat kondisi rumah kita. Menyedihkan. Karena rumah kita telah berubah menjadi bangunan lain. Aku pun pergi ke rumah Kakek dan Nenek. Mereka memelukku haru karena ternyata aku selamat. Saat itu aku sangat mengasihani diriku sendiri. Aku pun kembali pada ayah angkatku. Lalu, karena satu hal ia mengajakku pindah ke luar negeri. Aku menurut. Berharap bisa mengurangi rasa rinduku terhadap kalian. Tentang hanya aku yang selamat, Kakek dan Nenek benar. Di peristiwa itu, aku ingat, aku melihat Ayah, Ibu, dan Junse tertimpa sebuah  besi bongkahan kapal berukuran. Sebuah pemandangan yang langsung membuatku tak sadarkan diri. Mimpiku sangat panjang bukan? Tapi baguslah kalau semua itu hanya mimpi." Huan menarik napas panjang di akhir kalimatnya. "Atau jika saat inilah yang mimpi, aku ingin seterusnya bermimpi," tambahnya sambil mendesah pelan.
Mar3,
Mar3,

Junichi

Sae memandang lekat sosok di hadapannya. Hal ini membuat Junichi yang tengah sibuk mengatur lensa kameranya menoleh. "Wajahku tampan?" tanyanya, lalu kembali memfokuskan perhatian pada kamera di tangannya. Pria tersebut masih berusaha untuk mengambil gambar sepasang burung pingai yang hinggap di pelataran dan sesekali melompat, "Karena kau diam, aku anggap iya. Ha ha."

Sae mendengus, lalu menyesap kopinya. Wanita itu kembali memandangi pria di depannya tersebut. Junichi masih sibuk dengan kameranya. Suasana hening. Meskipun sesekali terdengar percakapan pengunjung yang berada di meja lain.
"Sae..." panggil Junichi, lalu, "...menikahlah denganku," lanjutnya tanpa mengalihkan perhatian dari kameranya.
Sae sedikit terkejut. "A-apa?" tanyanya terbata.
"Kenapa?"
"Apakah kau serius?"
"Aku sengaja terbang dari Afrika hanya untuk mengatakan ini padamu. Aku serius," jawab Junichi. Masih dengan perhatian yang tertuju pada kameranya. Ia tampak sedang melihat-lihat di layar kamera hasil pengambilan gambarnya tadi.
Kedua alis Sae terangkat heran. Ia berpikir dan mengingat sesuatu, lalu tersenyum. "Kau sudah mengatakan itu padaku satu bulan yang lalu."
Junichi tersenyum. Meski wajahnya tertunduk menatap kamera, Sae bisa melihat itu. "Ya. Aku ingin mengatakannya sekali lagi," sahut Junichi.
"Bukankah seharusnya kau pulang minggu depan? Apakah kau sengaja pulang lebih awal hanya karena ingin mengatakan ini padaku?"
Junichi tidak menjawab. Ia justru kembali mengarahkan lensa kameranya pada sepasang burung pingai yang masih sibuk bermain di pelataran.

Sementara itu, Sae baru saja menolak lagi panggilan dari Kanako yang sudah sejak tadi berulang kali menelefon. Ia meletakkan ponselnya di meja, lalu meraih kopi untuk kemudian kembali disesapnya. Tak lama kemudian benda tersebut bergetar. Sebuah pesan singkat. Dari Kanako.

Sae menatap ponselnya sejenak sebelum ia membuka pesan dari sahabatnya tersebut. Sae pun membaca beberapa baris kalimat yang tertulis di layar. Wajahnya seketika tak bergeming. Ia meletakkan begitu saja ponselnya di meja. Perhatiannya lalu tertuju pada sosok di hadapannya. Junichi.
Satu detik. Dua detik. Tiga detik. Empat detik. Lima detik. Kedua matanya mengerjap, lalu bibirnya melengkung tersenyum. "Junichi..." panggilnya dengan suara lirih, karena itu Junichi tampaknya tidak mendengar. "Jangan pergi dulu, aku akan ke toilet sebentar. Aku akan segera kembali. Tunggu aku... Junichi." Sae melanjutkan ucapannya. Namun, Junichi masih acuh, benar-benar tak mendengar. Sae hanya tersenyum. Hal ini sama sekali tidak membuatnya marah. Ia pun berlalu ke toilet wanita.

Lima menit kemudian, Sae kembali ke mejanya. Keningnya berkerut samar, memandang ke sekeliling, apakah ia salah meja? Ah... tapi tidak, ini memang mejanya. Sae teolah tersadar. Seketika kedua matanya melebar, kerongkongannya tercekat, dan tubuhnya sedikit bergetar. "Junichi..." panggilnya pelan. "Junichi..." Sae mengeraskan volume suaranya.
Kini kedua matanya memandang liar ke seluruh sudut. Suaranya yang memanggil Junichi berkali-kali pun semakin keras. "Junichi... Junichi.... Junichi... Junichi... Junichiiiiii!" Sae menjerit histeris. Ia segera menjadi pusat perhatian pengunjung yang lain. Mereka saling berbisik.
Ada apa dengan wanita itu? Sejak tadi ia hanya berbicara seorang diri. Kenapa sekarang berteriak-teriak? Apakah dia gila? Lebih baik kita segera memanggil keamanan. Aku kasihan melihatnya. Kira-kira ada apa dengannya?

Layar ponsel di meja tersebut pun masih menampilkan sebuah pesan singkat.
Sae, kenapa kau tidak mengangkat telefonku? Kau di mana? Kenapa kau tidak datang ke pemakaman Junichi?
Jan26,
Jan26,

Ohanami

After I posted about winter yesterday, now I'm going to share something about Japan again. Just because I'm being really really want to go to those country, then my mind is full with everything about Japan he he.
Today, me and my Japanese friend had lunch together at the office. And we had talking about anything. Of course it was my opportunity to ask everything about Japan that I want to know. Then we had talking about seasons in Japan.
He told me that the best season in his country is... spriiiing time! When it comes, the entire of Japan turned into beautiful places. Because the cherry blossom which grow at anywhere are flowering. Ah.... it must be very very pretty and lovely <3
He said, during spring season the weather is very comfortable. That's why people love to do any outdoor activities, especially ohanami. Ohanami is enjoying the blooming cherry blossom at the outdoor under the cherry blossom tree itself. Even ohanami become favorite outing activity for the officer in his company.
I wish I could feel ohanami at Japan in the spring time.  Aamiin :)


What a wonderful day!
Ah ya, on the other hand, autumn season is also beautiful, because all of the colorful leaves everywhere. I guess I would like to enjoy it too :))

Image's source: here
Jan25,
Jan25,

Winter in Japan

Since the rainy season has started, Jakarta is getting colder. But, last week I was chatting with friends from Japan. They said, "Now in Japan is winter season. Stay in Jakarta, put us in a warm atmosphere. It's a good."
And the other hand, I'm here really really wanna feel how the winter in Japan it was.


How about the next winter? I wish I will be there soon. Aamiin :)


Image's source: here
Jan25,

Thinking Out Loud

Thinking Out Loud is one of the Ed Sheeran's song that is being popular nowadays. Like another famous songs, I know this song from my social media: Path. Many of my friends posted listening this song. When I heard the first time, I feel nothing special. But I tried to listen it again with feeling, then more and more. Oh... and I began to fall in love! :p
Everything in this song is nice. It's music, lyrics, Ed Sheeran's voice, I like them all. I think he success made a beautiful song. For me Thinking Out Loud is so easy listening and catchy. About the lyrics, I really really like this part...
Baby, I will be loving you till we're seventy. And darling my heart, could still fall as hard at twenty three. I'm think about how... people fall in love in mysterious ways~
I don't now why, that's just so sweet. I totally heart this song :p
Jan7,
Jan7,

Hanya Penggalan

“Kamu teman Diama kan?”
            Alika langsung menoleh. Gadis itu menahan napas sambil mengangguk. “I-iya, ada apa?”
            “Sekarang dia di mana?”
            “Kayanya dia ada di dalam kelas deh. Sebentar aku panggilin.” Alika langsung masuk ke dalam kelas, mencari sosok Diama, dan berjalan lurus menuju temannya tersebut. Gadis itu lalu duduk di depan meja menghadap Diama. “Hei. Michael Jordan nyariin kamu tuh di depan. Mau ngapain ya dia?” Alika mengatakan itu dengan suara pelan hampir berbisik.
            “Apa?” Diama mengalihkan perhatian dari bacaan di depannya. Gadis itu melepas sebelah earphone dari telinganya. “Kamu ngomong apa sih? Ngga kedengeran tahu.”
            “Ih Diamaaa…”
“Kok ih siiih? Habisnya yang kedengeran kamu malah sebut-sebut Michael Jordan.”
Alika tampak gemas. “Iyaaa. Dan sekarang Michael Jordan nyariin kamu tuh di depan.”
“Hah?” Diama mengangkat kedua alisnya heran. Ia tak mengerti dengan ucapan temannya, apa benar pemain basket Amerika itu ke sini dan mencari dia? “Siapa yang cari aku?”
Alika memajukan kedua bibirnya, mendesah pasrah, lalu mendekatkan wajahnya ke arah Diama. “Itu lho, anak basket kelas 2 IPA 3 yang sedang nge-hits diobrolin anak-anak.”
Diama melebarkan kedua matanya. “Mau apa dia?”
Alika mengangkat bahu. “Udah buruan ke sana.” Diama menurut. Ia berdiri, menarik tangan Alika, dan berjalan ke depan kelas. Di sana ia melihat seseorang yang Alika maksud.
“Kamu cari saya?”
Laki-laki itu, Ganang—siswa kelas 2 IPA 3  juga anggota klub basket sekolah yang sedang ramai dibicarakan seantero SMA Cendekia karena berhasil membawa piala kejuaraan pertandingan basket SMA se-Jakarta—menoleh. “Hai.” Ia menyapa, tapi terdengar hanya sebatas basa-basi.
“Ada apa?” Diama bertanya langsung. Ia ingin segera menyelesaikan urusannya dengan laki-laki di depannya tersebut. Diama menyadari bahwa mereka mulai menjadi pusat perhatian anak-anak yang ada di sekitar dan melintasi mereka.
“Ada yang mau saya bicarakan sama kamu.”
“Silakan.”
“Berdua. Jadi nggak di sini.”
Diama melebarkan kedua matanya. “Saya nggak mau, di sini aja.”
“Memang kenapa? Saya  nggak akan gigit atau cakar kamu.”
Diama melotot. “Nggak mau aja… dan juga nggak boleh.”
Ganang tersenyum setengah. Tampaknya gadis di hadapannnya ini cukup keras kepala. “Kalau nggak mau, saya balik ke kelas,” lanjut Diama.
Benar. Keras kepala. “Oke.” Ganang mencari-cari tempat di sekitar mereka yang cukup sepi. “Tapi kita bicara di sana.” Ganang melempar pandangannya ke arah ujung dekat tangga. Ia belum mendapati Diama setuju. “Please,” lanjutnya. Diama masih terdiam, tampak berpikir membuat Ganang menarik napas. “Hai Nona Diama. Itu ruangan terbuka, jadi kita nggak akan mutlak disebut berdua kalau berdiri di sana.” Diama masih diam. “Atau mau di pos satpam? Biar bisa bertiga dengan Pak Samad?” Ganang memberikan tawaran lain.
Diama menghela napas, lalu memandang sekilas ke arah Alika yang sejak tadi berdiri terdiam di sebelah mereka. “Aku ke situ sebentar ya,” ucapnya, lalu dianggukkan oleh Alika. Diama berjalan ke sudut yang ditunjuk Ganang. Sementara itu, Ganang berjalan di belakang Diama tanpa mendahului. Siswa itu tersenyum.
Copyright @ Gettar's | Floral Day theme designed by SimplyWP | Bloggerized by GirlyBlogger | Distributed by Deluxe Templates
Blogger Templates