Pagi ini, Arimbi baru saja mengantar suaminya ke depan rumah saat didapatinya Bik Jum sedang mulai menyetrika pakaian di teras belakang. “Di kulkas ada sarden, nanti yang lima kaleng Bik Jum bawa pulang ya,” ujarnya.
Bik Jum menoleh dan menganggukkan kepala. “Baik, Bu. Terima kasih.”
“Sama-sama,” sahut Arimbi tersenyum.
“Ibu nggak berangkat kerja?”
“Nanti agak siangan.”
Di dapur, Arimbi merapikan piring-piring kotor dari meja makan dan hendak mencucinya.
“Eh eh eh… biar nanti sama saya aja, Bu.” Bik Jum menyahut dari teras.
“Nggak apa-apa. Lagian cuma sedikit kok.”
Di tempatnya, sebuah senyum terbentuk di wajah Bik Jum. Dalam hati ia tengah bersyukur mendapati Arimbi sebagai majikannya. Wanita muda yang menurutnya cantik dan sangat baik hati itu tidak pernah menyuruhnya dengan kasar. Bik Jum juga sangat senang karena majikannya tersebut tidaklah cerewet. Arimbi hanya sering mengingatkan dirinya yang sering keceplosan membicarakan orang lain. Selebihnya Bik Jum sangat betah bekerja dengan Arimbi. Tanpa sadar Bik Jum bahkan sudah menyayangi wanita itu.
“Kalau nanti Ibu pegel, biar saya pijitin ya,” tawar Bik Jum, masih sambil meluncurkan setrika di atas jilbab putih milik Arimbi.
Arimbi tertawa. “Bik Jum jangan lebai ah. Saya kan masih muda. Masa gini doang langsung pegel.”
Bik Jum terkikik.
“Bik Jum masih suka dipanggil orang buat mijit?”
“Masih, Bu. Lumayan nambah-nambah buat uang jajan anak. Hari Minggu kemarin saya juga habis mijit Bu Nani dari kompleks sebelah. Ceritanya dia habis ada kerjaan di Jakarta seminggu. Kena macet terus bikin sakit badan, makanya pengen dipijit.”
Arimbi mengangguk-angguk.
“Bu nani ini kerjaannya enak, Bu. Sering ke luar kota. Gajinya gede lagi. Makanya sering bisa plesiran ke luar negeri.”
“Wah asyik dong ya,” sahut Arimbi.
“Iya, Bu. Tapi ya gitu… orang dikasih kerjaan enak, rejeki banyak, tetep aja punya kekurangan. Kasihan Bu Nani, Bu. Udah delapan tahun nikah, tapi belum dikasih anak. Padahal suami istri udah mapan. Satu ganteng, satu cantik lagi. Rumah? Gede bisa buat main bocah. Gaji juga cukup buat nyekolahin. Tapi yang namanya belum rejeki ya, Bu. Denger-denger sih…” Bik Jum memberi jeda di tengah kalimatnya. “…Bu Nani-nya yang nggak subur, nggak bisa punya anak. Untung aja suaminya bukan orang yang macem-macem, jadi nggak ditinggalin. Padahal gimana coba rasanya suami kalau punya istri nggak bisa ngasih anak? Soalnya yang namanya lelaki kan pasti pengen punya keturunan. Biar garis keluarga nggak putus. Belum lagi rasa nggak enak sama orangtua. Duh… kalau bisa sih mending nikah lagi. Cari perempuan lain yang bisa kasih anak.”
Bik Jum berhenti, lalu menoleh ke arah dapur. Mencari-cari apakah Arimbi masih ada di sana. Dan ternyata majikannya tersebut masih berada di sana. Duduk di salah satu kursi. Terdiam. Mungkin sedang seksama mendengar celotehnya kali ini. Bik Jum pun kembali meneruskan kegiatan menyetrikanya.
Di tempatnya Arimbi merasa udara seolah memadat. Napasnya sesak dan dadanya nyeri. Pikirannya pun langsung melayang ke kejadian lima tahun yang lalu. Kemudian, dipandangnya tubuh bungkuk Bik Jum yang duduk tenggelam di antara tumpukan baju. Kenapa ada seseorang yang tidak bisa menjaga kata-katanya seperti itu?
Bik Jum kembali menoleh untuk mencari tahu keadaan Arimbi. Kali ini wanita setengah baya itu panik, karena dilihatnya wajah Arimbi yang sejak tadi mematung berubah pucat. Bik Jum pun segera bangkit dari duduknya dan datang menghampiri Arimbi. “Ibu sakit?” wajah cemas terlihat dari raut Bik Jum. Wanita itu semakin panik karena dilihatnya mata bening Arimbi berkaca-kaca dengan tatapannya yang kosong ke depan.
“Bu? Bu Arimbi?” panggil Bik Jum lagi.
Akhirnya sebulir air mata mengalir keluar dan Arimbi membuka mulut. Suaranya parau. “Sama seperti saya, Bik. Udah lima tahun nikah, saya dan suami belum dikasih anak. Dan itu semua karena saya, Bik. Karena saya ini istri yang nggak bisa ngasih keturunan. Saya nggak bisa punya anak. Terus, apa seperti kata Bik Jum? Saya harus ngizinin suami saya cari perempuan lain?”
Tangis Arimbi pecah. Ia menenggelamkan wajah dengan kedua telapak tangannya. Tubuhnya berguncang.
Sementara di depannya, Bik Jum menatap dengan tubuh lemas. Tangannya bergetar karena rasa iba dan sesal. Dalam hati Bik Jum membodoh-bodohi dirinya sendiri yang tidak bisa menjaga ucapan. Ia tidak menyangka kalau kali ini ia telah menghunus seseorang yang disayanginya dengan lidahnya. Keterlaluan.
***
“Hari ini masak nasinya banyakan ya, Bik. Nanti siang sepupu saya mau dateng,” ucap Arimbi seperti biasa. Sama sekali tidak ada nada kesal. Tentu saja dalam hati ia berharap mulai hari ini Bik Jum akan menghentikan kebiasaan buruknya.
“Baik, Bu. Sepupu yang dari Jakarta ya, Bu?”
“Iya.”
“Oh iya, kemarin tetangga saya baru berhenti kerja pabrik di Jakarta. Katanya gara-gara sering digodain sama bosnya. Udah gitu, Bu…” Seperti sebuah gerakan refleks, Bik Jum meneruskan ceritanya penuh gairah.
Arimbi menelan ludah. Ia lalu menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan cepat. Ia menyadari sesuatu. Ya. Harapan paginya baru saja pupus.
Bik Jum…
- Tamat -