Jan21,
Jan21,

Pelantun Buah Bibir (part 3)

Sudah bulan ke tiga Bik Jum bekerja sebagai asisten di rumah Arimbi. Ia masih mempertahankan wanita paruh baya tersebut. Bersyukur akhir-akhir ini ia disibukkan dengan kegiatan mengelola toko, sehingga intensitasnya bertemu dengan Bik Jum terbilang sedikit. Hanya pagi sebelum ia berangkat. Dan ini berarti, kesempatan terlibat kegiatan bergosip bersama Bik Jum pun jauh berkurang.

Pagi ini, Arimbi baru saja mengantar suaminya ke depan rumah saat didapatinya Bik Jum sedang mulai menyetrika pakaian di teras belakang. “Di kulkas ada sarden, nanti yang lima kaleng Bik Jum bawa pulang ya,” ujarnya.

Bik Jum menoleh dan menganggukkan kepala. “Baik, Bu. Terima kasih.”
“Sama-sama,” sahut Arimbi tersenyum.
“Ibu nggak berangkat kerja?”
“Nanti agak siangan.”
Di dapur, Arimbi merapikan piring-piring kotor dari meja makan dan hendak mencucinya.
“Eh eh eh… biar nanti sama saya aja, Bu.” Bik Jum menyahut dari teras.
“Nggak apa-apa. Lagian cuma sedikit kok.”

Di tempatnya, sebuah senyum terbentuk di wajah Bik Jum. Dalam hati ia tengah bersyukur mendapati Arimbi sebagai majikannya. Wanita muda yang menurutnya cantik dan sangat baik hati itu tidak pernah menyuruhnya dengan kasar. Bik Jum juga sangat senang karena majikannya tersebut tidaklah cerewet. Arimbi hanya sering mengingatkan dirinya yang sering keceplosan membicarakan orang lain. Selebihnya Bik Jum sangat betah bekerja dengan Arimbi. Tanpa sadar Bik Jum bahkan sudah menyayangi wanita itu.

“Kalau nanti Ibu pegel, biar saya pijitin ya,” tawar Bik Jum, masih sambil meluncurkan setrika di atas jilbab putih milik Arimbi.
Arimbi tertawa. “Bik Jum jangan lebai ah. Saya kan masih muda. Masa gini doang langsung pegel.”
Bik Jum terkikik.
“Bik Jum masih suka dipanggil orang buat mijit?”
“Masih, Bu. Lumayan nambah-nambah buat uang jajan anak. Hari Minggu kemarin saya juga habis mijit Bu Nani dari kompleks sebelah. Ceritanya dia habis ada kerjaan di Jakarta seminggu. Kena macet terus bikin sakit badan, makanya pengen dipijit.”

Arimbi mengangguk-angguk.
“Bu nani ini kerjaannya enak, Bu. Sering ke luar kota. Gajinya gede lagi. Makanya sering bisa plesiran ke luar negeri.”
“Wah asyik dong ya,” sahut Arimbi.

“Iya, Bu. Tapi ya gitu… orang dikasih kerjaan enak, rejeki banyak, tetep aja punya kekurangan. Kasihan Bu Nani, Bu. Udah delapan tahun nikah, tapi belum dikasih anak. Padahal suami istri udah mapan. Satu ganteng, satu cantik lagi. Rumah? Gede bisa buat main bocah. Gaji juga cukup buat nyekolahin. Tapi yang namanya belum rejeki ya, Bu. Denger-denger sih…” Bik Jum memberi jeda di tengah kalimatnya. “…Bu Nani-nya yang nggak subur, nggak bisa punya anak. Untung aja suaminya bukan orang yang macem-macem, jadi nggak ditinggalin. Padahal gimana coba rasanya suami kalau punya istri nggak bisa ngasih anak? Soalnya yang namanya lelaki kan pasti pengen punya keturunan. Biar garis keluarga nggak putus. Belum lagi rasa nggak enak sama orangtua. Duh… kalau bisa sih mending nikah lagi. Cari perempuan lain yang bisa kasih anak.”

Bik Jum berhenti, lalu menoleh ke arah dapur. Mencari-cari apakah Arimbi masih ada di sana. Dan ternyata majikannya tersebut masih berada di sana. Duduk di salah satu kursi. Terdiam. Mungkin sedang seksama mendengar celotehnya kali ini. Bik Jum pun kembali meneruskan kegiatan menyetrikanya.

Di tempatnya Arimbi merasa udara seolah memadat. Napasnya sesak dan dadanya nyeri. Pikirannya pun langsung melayang ke kejadian lima tahun yang lalu. Kemudian, dipandangnya tubuh bungkuk Bik Jum yang duduk tenggelam di antara tumpukan baju. Kenapa ada seseorang yang tidak bisa menjaga kata-katanya seperti itu?

Bik Jum kembali menoleh untuk mencari tahu keadaan Arimbi. Kali ini wanita setengah baya itu panik, karena dilihatnya wajah Arimbi yang sejak tadi mematung berubah pucat. Bik Jum pun segera bangkit dari duduknya dan datang menghampiri Arimbi. “Ibu sakit?” wajah cemas terlihat dari raut Bik Jum. Wanita itu semakin panik karena dilihatnya mata bening Arimbi berkaca-kaca dengan tatapannya yang kosong ke depan.

“Bu? Bu Arimbi?” panggil Bik Jum lagi.
Akhirnya sebulir air mata mengalir keluar dan Arimbi membuka mulut. Suaranya parau. “Sama seperti saya, Bik. Udah lima tahun nikah, saya dan suami belum dikasih anak. Dan itu semua karena saya, Bik. Karena saya ini istri yang nggak bisa ngasih keturunan. Saya nggak bisa punya anak. Terus, apa seperti kata Bik Jum? Saya harus ngizinin suami saya cari perempuan lain?”
Tangis Arimbi pecah. Ia menenggelamkan wajah dengan kedua telapak tangannya. Tubuhnya berguncang.

Sementara di depannya, Bik Jum menatap dengan tubuh lemas. Tangannya bergetar karena rasa iba dan sesal. Dalam hati Bik Jum membodoh-bodohi dirinya sendiri yang tidak bisa menjaga ucapan. Ia tidak menyangka kalau kali ini ia telah menghunus seseorang yang disayanginya dengan lidahnya. Keterlaluan.

***

Dua hari kemudian, seperti biasa, pukul enam lewat limabelas menit, Bik Jum sudah muncul di rumah Arimbi. Bersiap untuk melakukan tugas-tugasnya. Wanita itu telah menyesal serta bersungguh-sungguh dan tulus meminta maaf pada Arimbi. Ia juga berjanji tidak akan sembarangan bercerita tentang orang lain di depan Arimbi. Setelah kejadian itu, Bik Jum telah bertekad untuk memperbaiki diri.

“Hari ini masak nasinya banyakan ya, Bik. Nanti siang sepupu saya mau dateng,” ucap Arimbi seperti biasa. Sama sekali tidak ada nada kesal. Tentu saja dalam hati ia berharap mulai hari ini Bik Jum akan menghentikan kebiasaan buruknya.
“Baik, Bu. Sepupu yang dari Jakarta ya, Bu?”
“Iya.”

“Oh iya, kemarin tetangga saya baru berhenti kerja pabrik di Jakarta. Katanya gara-gara sering digodain sama bosnya. Udah gitu, Bu…” Seperti sebuah gerakan refleks, Bik Jum meneruskan ceritanya penuh gairah.

Arimbi menelan ludah. Ia lalu menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan cepat. Ia menyadari sesuatu. Ya. Harapan paginya baru saja pupus.
Bik Jum…


- Tamat -

Jan21,

Pelantun Buah Bibir (part 2)

“Bu Arimbi yang sabar aja ya,” ucap Bu Radhiya sambil meletakkan secangkir teh panas yang masih mengepul di atas meja. “Silakan diminum,” lanjutnya.
Arimbi tersenyum. “Makasih, Bu.”
“Sering-sering ingetin aja, supaya Bik Jum nggak usah ngobrolin yang aneh-aneh pas lagi kerja.”
Arimbi menyesap tehnya, lalu tersenyum tipis. “Oh iya, berarti Bik Jum udah kerja sama Ibu berapa lama ya?”

Bu Radhiya memutar bola matanya berpikir. “Sekitar satu setengah tahun, Bu.”
“Lumayan lama juga ya?” Arimbi melebarkan kedua matanya. “Memang Ibu nggak takut Bik Jum ngegosipin Ibu di luar sana?”
“Pasti khawatir lah, Bu. Saya kan udah sering bilang juga ke Bu Arimbi. Makanya saya ati-ati banget kalau di depan Bik Jum. Nggak berani curhat soal rumah tangga. Di sisi lain, mau berhentiin juga kasihan. Anak-anaknya masih pada sekolah.”

Arimbi mencerna kalimat Bu Radhiya baru saja. Ah… Bik Jum baru menginjak minggu kedua bekerja sebagai asistennya. Baiklah. Ke depan ia akan lebih bersabar dan berusaha mengingatkan lagi.
Setelah keduanya melanjutkan perbincangan—dengan topik lain tentunya—Arimbi berpamitan pulang. Di tengah jalan, ia pun bertemu dengan Bu Yogita, seorang tetangga yang tinggal lumayan jauh dari rumah Arimbi.

“Mau ke mana, Bu?”
“Ke rumah Bu Radhiya. Biasa… nganterin jahitan. Bu Arimbi mau ke mana?” Bu Yogita menerima sapaan Arimbi dan balik bertanya.
Arimbi tersenyum. “Mau pulang. Saya juga baru dari rumah Bu Radhiya.”
“Wah, harusnya saya dateng lebih cepet ya.”
Arimbi kembali tersenyum. “Nanti deh kita kumpul-kumpul lagi.”

“Iya ayo…” sahut Bu Yogita. “Oh iya, katanya suami ke luar kota lama? Main aja ke rumah kalau sepi sendirian.”
“Oh?” Arimbi terkejut. Lalu, segera tersenyum lebar dan menjawab, “Siap. Besok sore saya ke rumah Ibu ya. InsyaAllah.”
Bagaimana bisa Bu Yogita tahu soal suaminya? Ah! Pasti… Arimbi pun mendesah panjang, kemudian beristighfar. Kini hanya ada satu nama yang bertengger di otaknya.
Bik Jum.

***

Saat musim hujan seperti ini, hujan datang tidak kenal waktu. Sejak turun tengah malam tadi, pagi ini hujan masih belum mereda. Arimbi yang sedang merasa tidak enak badan memutuskan untuk tetap di rumah dan meminta pekerjanya saja untuk menjaga toko. Sekitar pukul sembilan, ia keluar dari kamar dan berniat membuat secangkir teh hijau untuk menghangatkan tubuh. Ketika itu dijumpainya Bik Jum sedang mengepel lantai teras belakang.

“Nggak usah dipel dulu aja, Bik. Kalau hujannya belum reda, pasti kotor terus. Nggak apa-apa. Nanti aja dipelnya,” ucap Arimbi dengan nada setengah berteriak, mengingat suara seraknya harus beradu dengan deru hujan di luar sana.
Tubuh gempal Bik Jum yang tengah berjongkok berhenti dan menoleh. “Nggak apa-apa, Bu? Barangkali nanti Bu Arimbi kepeleset.”

Arimbi tidak dapat menahan senyumnya mendengar tanggapan Bik Jum. “Nggak, Bik. Saya nggak akan ke situ dulu deh, biar nggak kepeleset.”
Senyum Bik Jum pun mengembang. “Baik, Bu.”
“Hujan-hujan gini enaknya minum yang anget-anget. Mending Bik Jum temenin saya nge-teh dulu di sini,” tawar Arimbi yang sudah duduk manis di ruang makan bersama teh hijau-nya.
Bik Jum yang baru saja merapikan peralatan pel segera datang menghampiri Arimbi. “Mau saya bikinin pisang goreng, Bu? Biar lengkap.”
“Boleh boleh,” jawab Arimbi dengan senyum lebar.

Tidak lama kemudian keduanya duduk bersama menikmati teh dan pisang goreng hangat buatan Bik Jum. Sebelumnya wanita paruh baya itu mengeluhkan rasa teh hijau yang menurutnya pahit dan tidak sesedap teh melati biasa. Sedangkan Arimbi menceritakan khasiat dari teh hijau yang tetap ia minum, meskipun sebenarnya ia pun setuju bahwa teh melati biasa memang jauh lebih nikmat.
Pada perbincangan ini Arimbi berusaha mengarahkan obrolan. Ia yang banyak bertanya seputar keluarga Bik Jum—termasuk tentang anak-anak dan kampung halamannya. Bik Jum pun tanpa segan menjawab panjang lebar pertanyaan-pertanyaan Arimbi.

Setelah keduanya selesai, Arimbi baru saja akan beranjak menuju ruang tengah saat pertanyaan Bik Jum menarik perhatiannya. Wanita paruh baya itu sedang mencuci cangkir-cangkir dan beberapa penggorengan yang baru saja digunakan.
“Memang ada apa dengan suami Bu Radhiya, Bik?” Arimbi menunda langkah kakinya dan berbalik menuju dapur. Ada rasa penasaran dari nada bicaranya.

Lagi-lagi Arimbi menangkap gerak-gerik yang biasa Bik Jum lakukan jika akan menceritakan sesuatu. Sedikit menengok ke kanan dan kiri seolah memastikan tidak ada seorangpun yang sedang mengawasi, mendekatkan tubuh, mengecilkan suara, memicingkan mata, dan mendorong maju bibirnya. Mungkin karena menyangkut orang yang dikenalnya, kali ini tanpa sadar Arimbi ikut mendekatkan telinganya ke arah Bik Jum. Kedua matanya melebar, bersiap mendengar sesuatu yang tidak biasa.

“Kemarin saya nggak sengaja denger Ibu sama Bapak berantem.” Bik Jum memulai kalimatnya. Ibu dan bapak yang ia maksud adalah Bu Radhiya dan suaminya.
Seketika alis Arimbi terangkat. Ia masih tidak beranjak dan bahkan menanti kalimat Bik Jum selanjutnya.

“Gara-gara saya nemuin struk belanja kebutuhan bulanan di celana Bapak dan saya kasih lihat ke Ibu,” lanjut Bik Jum masih dengan suara pelan. “Padahal itu bukan belanjaan punya Ibu. Makanya si Ibu langsung curiga ke Bapak.”
“Terus Bu Radhiya gimana?” tanya Arimbi dengan nada suara meninggi dan tanpa sadar mendapati dirinya emosi.
Bik Jum, dengan kedua tangannya yang lihai membersihkan busa sabun pada wajan melalui kucuran air kran, menjawab dengan nada penuh simpati. “Setelah sempet berantem sama Bapak, ya nangislah di kamarnya.”

Entah mengapa pikiran Arimbi langsung melompat mengingat suaminya, yang beberapa hari ini kembali pergi keluar kota untuk urusan pekerjaan. Dadanya juga mendadak sesak karena rasa curiga yang tiba-tiba menjalari tubuhnya.

Kemudian, seketika, seperti ada sengatan listrik datang mengenai kepalanya. Membuat Arimbi segera beristighfar. Berkali-kali. Apa yang baru saja ia lakukan? Membicarakan tetangganya? Dan lebih buruk lagi, mencurigai suaminya?

“Astaghfirullah…” gumam Arimbi.
“Namanya juga kehidupan rumah tangga ya, Bu.” Bik Jum menyahut.
“Bukan itu.” Arimbi menarik napas panjang. “Harusnya Bik Jum nggak usah nyeritain itu ke saya. Kita jadi ngobrolin urusan rumah tangga orang kan? Ghibah, Bik. Kita jadi ibarat makan bangkai saudara sendiri.” Wanita muda tersebut menggeleng-gelengkan kepala. Bergidik. “Nanti-nanti jangan biasain gosip ah.”

“Tapi ini bukan gosip, Bu. Fakta,” Bik Jum menyela.
“Kalau memang fakta, kita ghibah. Kalau bukan fakta, kita fitnah. Dua-duanya nggak baik dan nggak bener, Bik.” Kali ini suara Arimbi bernada menegaskan. Berharap Bik Jum, dan juga dirinya, tidak akan mengulangi hal seperti ini.

Bik Jum terdiam, lalu dengan nada menyesal berkata, “Maafin saya, Bu.”
Namun, seperti kebiasaan lainnya. Rutinitas melantunkan buah bibir tidaklah mudah untuk berubah. Pun dengan Bik Jum.


Jan21,

Pelantun Buah Bibir (part 1)

Pagi itu, tepat pukul enam lewat limabelas menit, seorang wanita paruh baya yang tengah ditunggu Arimbi sudah berdiri di ambang pintu ruang depan. Tubuh gempalnya mengenakan kaus partai yang sudah robek di bagian bahu kanan dan celana kain kotak-kotak lebar dengan panjang sedikit melewati lutut. Rambutnya yang tipis dan telah beruban di beberapa bagian dikucirnya dengan rapi ke belakang hanya dengan menggunakan karet gelang. Sementara kakinya yang penuh dengan tanda kasar bertelanjang, karena beberapa menit yang lalu ia melepas sepasang sandal jepitnya di sisi teras.
Arimbi tersenyum, lalu mempersilakan wanita tersebut masuk dan duduk di sofa ruang tamu.

“Panggil saja saya Jum… Kalau Bu Radhiya sekeluarga biasanya memanggil saya Bik Jum. Ah… sebenernya kan kita sudah kenal ya, Bu? Sudah sering ketemu juga. Ibu Arimbi sudah tahu. Tapi ya… sekarang kan beda, jadi saya pingin perkenalan formil ke Ibu.”

Di depannya Arimbi melebarkan mata dan mengangguk pelan. Sebelumnya ia sempat sedikit terkejut, karena di luar dugaan, Bik Jum berinisiatif memperkenalkan diri tanpa perlu basa-basi terlebih dulu. Selanjutnya Arimbi memaklumi dan mulai bersuara. “Iya, betul.” Lalu, tersenyum.

“Saya kerja di Bu Radhiya setiap hari Senin, Rabu, sama Jumat. Jadi saya bisa kerja di sini hari Selasa, Kamis, sama Sabtu,” ujar Bik Jum, meneguk teh hangat yang baru saja dikeluarkan oleh Arimbi, dan kembali membuka mulut untuk berucap, “Begitu kan, Bu?”

“Oh?” Arimbi yang kembali terheran karena ke-proaktif-an Bik Jum menjawab singkat. “Iya, Bik Jum. Betul.”
Senyum tersungging di wajah Bik Jum dan memperlihatkan deretan gigi penuh selipan noda. “Ngomong-ngomong Bapak ke mana, Bu? Kok sepi? Pagi-pagi gini sudah ngantor ya?”
“I-iya?” Arimbi mengangkat alis. “Oh iya, Bapak lagi ke Semarang beberapa hari,” jawab Arimbi, lalu melanjutkan, “Bik Jum udah sarapan?”

Wanita itu menggeleng sambil tersenyum malu-malu. Sementara Arimbi menahan tawa yang hampir terlepas. Noda cabai dan sayur yang baru saja dilihatnya di sela-sela gigi Bik Jum membuatnya setengah tidak percaya. “Ya udah, sarapan dulu yuk. Habis itu Bik Jum bisa mulai beberes.”
“Baik, Bu.”

***

Arimbi baru saja melayani seorang pelanggan saat sahabatnya Listy muncul dari balik pintu kaca. “Haaaiii…” sapa Arimbi dengan wajah cerah.
Listy yang siang itu mengenakan jilbab berwarna hijau toska menghambur ke arah Arimbi dan mencium pipi kanan dan kirinya. “Sumringah bener wajah lo. Omset naik nih kayanya,” ucap Listy dengan nada menggoda.
“Ha ha. Bisa aja lo. Gimana nggak seneng gue? Akhirnya dapet juga asisten rumah tangga baru. Jadi pulang dari toko gue bisa santai deh.” Arimbi menanggapi jujur. Sudah hampir dua bulan sejak asisten rumah tangga sebelumnya berhenti, wanita muda itu masih harus mengurus rumah meski sudah seharian mengelola toko pakaiannya.

“Oh iya, gimana gimana? Akhirnya lo dapet dari mana?” Listy bertanya penasaran.
“Sebenernya dia kerja di tetangga gue, Bu Radhiya, itu lho, yang rumahnya jarak dua rumah dari rumah di depan gue. Tapi seminggu cuma tiga hari. Jadi kerja di gue ya tiga hari sisanya.”
“Sebentar,” Listy menyela. “Bu Radhiya yang suaminya kerja di perusahaan asuransi itu?”
Arimbi mengangguk. “Iya. Lo kan pernah gue kenalin.”
“Bukannya lo bilang bibi yang kerja di situ orangnya suka ngegosip?”
Arimbi menatap Listy, lalu tersenyum. Sementara sahabatnya itu justru mencubit Arimbi. “Emang lo nggak cemas si bibi bakal ngegosipin lo di luar sana?”

“Ya cemas lah,” jawab Arimbi cepat, lalu menghela napas panjang. “Habisnya gue ngeri sama yang belum kenal. Jadi gue ambil resiko deh.” Pikiran wanita itu langsung melayang ke hari kemarin. Saat itu Bik Jum sedang membereskan halaman belakang. Sementara Arimbi sedang membaca-baca resep makanan, Bik Jum tidak berhenti menceritakan tentang keponakannya.

“Keponakan saya anaknya cantik, Bu. Orangnya juga cekatan, makanya dia nggak boleh keluar sama majikannya di luar negeri sana. Tapi ya gitu…” Bik Jum menggantung kalimat yang membuat Arimbi penasaran. Lalu tanpa diminta, kembali melanjutkannya dengan suara yang lebih pelan dan bibir lebih maju. “…anaknya genit sama suka dandan. Makanya kemarin pulang-pulang bawa anak. Mukanya bule. Katanya sih sama temen majikannya.”
Arimbi bergidik sambil istighfar. Bagaimana ia tidak khawatir jika suatu hari nanti aibnya diceritakan oleh seseorang dengan cara demikian? Astaghfirullah…

***

Pukul delapan pagi Bik Jum sudah selesai membereskan rumah. Sebelum beranjak untuk menyetrika tumpukan baju yang mulai menggunung, ia kembali merapikan dapur yang baru saja dibuat berantakan oleh Arimbi. Wanita itu baru saja mencoba salah satu resep masakan Jepang dari blog rekomendasi Listy.

“Bikin bakwan, Bu? Tapi kok besar-besar banget?”
Arimbi sempat berpikir sebelum menjawab pertanyaan Bik Jum. Okonomiyaki buatannya memang lebih mirip bakwan berukuran besar daripada tampilan seharusnya. “Iya, Bik. Bakwan Jepang.”
“Oh? Di Jepang ada bakwan juga ya?”
“Namanya okonomiyaki, sebenernya semacam martabak telur tapi pakai sayuran,” jawab Arimbi sambil menata hasil masakannya di atas piring putih persegi.

Bik Jum mengangguk-angguk mengerti. Ia sedang mengelapi piring-piring basah yang baru saja dicucinya. “Ngomong-ngomong soal Jepang, tetangga saya ada lho Bu yang kerja di Jepang, di pabrik sepeda. Gajinya gede, Bu. Lebaran kemarin aja bisa beliin bapaknya sepeda motor. Kan suka ngojek tuh. Ibunya juga dibeliin tivi model baru yang ukurannya gede.”
“Wah anak berbakti dong ya? Pasti seneng orangtuanya.” Arimbi menanggapi seadanya sambil tersenyum.

“Tapi tetangga saya itu, ibunya, kasian deh. Sakit stroke udah tiga tahun, makanya sekarang cuma bisa nonton tivi kerjaannya.” Bik Jum menghentikan kalimat, lalu menggeser dan sedikit merapatkan tubuhnya ke arah Arimbi. “Awalnya gegara tahu suaminya selingkuh sama biduan kampung sebelah. Makanya darah tingginya sering naik, terus lama-lama stroke,” ujar Bik Jum memelankan suaranya.
Arimbi memindahkan piring sajinya ke meja makan. Ia berniat untuk mengalihkan obrolan. “Oh iya Bik, rumput halaman depan udah dipotongin? Kemarin…” kalimat Arimbi terpotong, karena ternyata Bik Jum masih meneruskan bicaranya. Kali ini suaranya kembali normal dan bahkan sedikit lebih keras.

“Padahal berapa sih duit yang didapet dari ngojek! Dasar lelaki ya, Bu. Buat makan aja susah, masih kepikiran buat beliin sepatu merek buat biduan pujaan. Gimana istrinya nggak stroke kan? Untung-untung nggak sampe jantungan.”
“Bik Jum…” Arimbi menyela.
“Iya, Bu?”
“Tadi saya nanya lho, rumput halaman depan udah dipotong?” Arimbi masih berusaha menunjukkan wajah ramah, meskipun dalam hatinya ia sedikit kesal.
“Belum, Bu. Habis ini nanti saya potongin.”
Arimbi mengangguk. “Oke.”
“Tapi emang sih, Bu. Denger-denger biduannya seksi bener. Makanya tahun kemarin pernah jadi simpenan juragan besi yang nyalon jadi anggota DPRD. Sampai dibeliin mobil segala. Udah gitu, Bu…”
Bik Jum pun masih melanjutkan ocehannya. Sementara di tempatnya, Arimbi terduduk memandangi okonomiyaki-nya seraya mulai mendesah pasrah.


bersambung...

*Pelantun Buah Bibir (part 3)

Jan7,
Jan7,

Halte 1001

Sekarang sudah memasuki bulan Januari. Musim hujan masih belum berlalu.

Bagi sebagian orang curahan air langit itu kerap menjadi keluhan. Biasanya karena mereka akan sulit untuk bepergian. Hujan membuat sepatu mereka lebih mudah kotor. Pakaian yang melekat lebih mudah lusuh. Gaya rambut sering mendadak berantakan. Bahkan, mengurus payung basah yang baru dipakai terasa begitu mengganggu aktivitas. Sangat merepotkan. Lagipula hawa dingin membuat mereka lebih nyaman berada di balik selimut kesayangan. Belum lagi anginnya yang berembus kencang, tidak jarang membuat badan meriang.

Namun selalu saja ada hal yang bisa disyukuri. Musim hujan bagi sebagian orang lainnya bisa membuat mereka merasakan nikmat yang tidak biasa. Saat meneguk secangkir kopi panas misalnya. Merasakan kehangatannya yang menjalari tubuh merupakan kenikmatan yang sulit dilukiskan. Atau menyantap semangkuk mie instan rebus yang akan terasa lebih lezat dibandingkan seporsi mie restauran Asia terkenal. Bahkan, hanya sekedar bersantai mendengar deras sang hujan sambil menghirup wangi petrikor pun menjadi suasana yang akan dirindukan. Tidak jarang pulan hal sederhana seperti berteduh, diiringi tawa dan cerita kawan-kawan, menjadi hal yang begitu hangat di musim ini. Sama sekali tidak merepotkan. Justru sebaliknya, sangat menyenangkan.

Di musim hujan, halte di pinggiran jalan menjadi tempat favorit orang-orang. Dia menjadi tempat berteduh. Di mana orang-orang akan melindungi anggota tubuh mereka dari guyuran air yang jatuh dari langit. Halte juga menjadi tempat bagi mereka yang menunggu. Menunggu sang hujan reda. Menunggu kawan yang akan pulang bersama. Atau menunggu sesuatu yang akan membawa mereka pergi. Seperti mobil jemputan, payung tumpangan, atau angkutan kota tujuan pulang.

Musim hujan menjadikan halte bagai sebuah tempat bermagnet. Dia menarik orang-orang yang ada di sekitarnya. Lalu membuat mereka bertahan selama beberapa waktu. Tidak terkecuali Halte 1001--yang berdiri tegak di depan sebuah bangunan yang sangat dicintai penghuninya, SMA 1001--pun mengalami hal serupa.

Hanya saja tepat saat ini Halte 1001 sudah ditinggalkan orang-orang. Sejak hujan mereda lima belas menit yang lalu, mereka satu per satu pergi. Memang selalu ada akhir di setiap permulaan, pada setiap kejadian di dunia. Lagipula ini sudah pukul setengah lima sore. Jam pulang sekolah sudah berlalu lebih dari dua jam.

"Allahumma shoyyiban naafi'an."

Ya. Sebenarnya hujan belum benar-benar reda. Masih ada rintik air yang turun. Karena itu Diama kembali mengulang doa tersebut. Ya Allah, jadikanlah hujan ini sebagai hujan yang membawa kebaikan. Ahh. Hujan dan doa. Keduanya sungguh memiliki hubungan yang romantis. Betapa tidak, bukankah hujan menjadi waktu yang sangat baik bagi sebuah lantunan doa?

Gadis itu duduk di ujung bangku halte. Ia membiarkan rok abu-abunya basah begitu saja, menempel pada titik-titik air yang didudukinya. Diama baru saja meninggalkan rapat panitia MOS yang masih berlangsung di ruang OSIS. Ia sudah berjanji pada Mami selepas Maghrib nanti akan mengantar berbelanja. Jadi mau tidak mau ia izin pulang lebih awal.

Entah dari mana datangnya, Diama tidak menyadari itu. Di seberang jalan sana muncul seseorang yang kini sedang menatapnya sambil tersenyum. Diama pun balas tersenyum. Meskipun sebenarnya ia lebih merasa heran. Kenapa anak itu sering sekali muncul tiba-tiba seperti hantu-hantu di film?
"Sendirian?"
"Tadinya." Diama menoleh sebentar dengan alis terangkat. "Ngapain sore-sore di sini?" Lalu sebelum pertanyaan terjawab, siswi itu segera menambahkan dengan nada setengah mengancam, "Jangan balik nanya."

bersambung...

Aug20,
Aug20,

Bunuh Diri

Selamat tinggal.
Di sini aku akan bahagia.

Demikian bunyi surat yang ditulis oleh Suchart. Selembar kertas yang sudah kusut dan berwarna kecokelatan tersebut ditemukan di dekat mayatnya. Saat ditemukan, tubuh tak bernyawa pria itu tengah bergelantungan di pohon belakang rumah Nenek Lim. Wanita tua yang selalu membawa tongkat untuk membantunya berjalan, hidup sebatang kara, dan menghabiskan hari dengan mencari kerang di pinggiran laut.

Suchart melihat semua itu.

Ia adalah seorang pria lajang yang baru menginjak usia duapuluh tahun. Pria itu memang kerap mengisi hari-harinya di rumah Nenek Lim. Ia tidak memiliki saudara. Ibunya sudah meninggal tigabelas tahun yang lalu karena penyakit yang diderita bertahun-tahun. Sementara ayahnya yang seorang pemabuk hampir tidak pernah di rumah. Sudah dipastikan pria paruh baya itu tidak memenuhi kewajibannya sebagai orang tua. Suchart sendiri tidak pernah menuntut apapun. Selain menyadari dirinya telah dewasa, Suchart menjadi orang yang paling tahu melebihi siapapun bahwa ayahnya adalah seseorang yang sangat miskin.

Membantu Nenek Lim mengangkut kerang-kerangnya kepada para pengepul adalah satu-satunya usaha yang bisa ia lakukan untuk memenuhi kebutuhan perut. Meskipun tidak terlalu penyayang dan selalu bernada kasar saat berbicara, Nenek Lim masih berbaik hati untuk berbagi makanan dengan Suchart karena jasa yang telah dilakukannya. Hal itu sudah bagus. Suchart sama sekali tidak mengharapkan upah. Mengingat ia tidak pernah dipekerjakan oleh Nenek Lim.

Kehidupan Suchart dapat dengan mudah dicap sebagai kehidupan sengsara. Namun, bukan berarti tidak ada kebahagiaan di sana. Setiap orang dapat berbahagia asal mereka bisa menemukannya di tempat yang tepat. Dan bagi Suchart, kebahagiaan itu dijumpainya dalam diri Junta. Seorang gadis tetangga berusia limabelas tahun yang memiliki wajah manis dengan rambut ikal yang menjuntai indah. Tidak hanya baik rupa, Junta juga gadis yang baik sikap. Kadang-kadang ia datang membawakan makanan untuk Nenek Lim dan Suchart.

Suchart sungguh jatuh cinta dibuatnya.

Dibandingkan dengan Suchart, kehidupan Junta sedikit lebih baik. Gadis itu memiliki kedua orang tua dan saudara yang menyayanginya. Junta juga memiliki seorang paman yang bekerja di kota. Menurut warga, pamannya yang baik hati itu sering membantu kebutuhan ekonomi keluarga Junta. Bahkan sampai membantu perbaikan rumah kayu keluarga Junta menjadi tempat yang lebih layak.

Tapi toh, sayangnya, lebih baik tidak selamanya lebih beruntung. Junta mengalaminya. Satu minggu yang lalu, setelah didera oleh penyakit aneh sejak satu bulan sebelumnya, gadis berkulit sawo matang itu mengembuskan napas terakhir.

Sang gadis pujaan, kini telah tiada.

Suchart pun tidak bisa tinggal diam. Ia harus mengejar sumber kebahagiaannya. Ia harus menyusul gadis pujaannya. Tunggu aku Junta, aku akan segera menemuimu.

Pohon belakang rumah Nenek Lim menjadi tempat pilihan Suchart. Meskipun hampir dipastikan tidak ada seorangpun yang akan merasa kehilangan atas kematiannya, Suchart tetap menulis sebuah surat peninggalan. Ia berpikir, barangkali setidaknya Nenek Lim sedikit berbeda. Bagaimanapun mereka banyak menghabiskan waktu bersama.

Ahh. Lalu, di mana ini?

Sebelumnya Suchart sempat bertanya-tanya, apakah ia sudah benar-benar mati atau belum? Dan suasana di sekitarnya yang sangat dingin dan gelap gulita itu seolah menjawab, "Tentu saja kau sudah mati." Ya. Ia pasti sudah mati. Baguslah. Itu berarti kini dirinya sudah satu alam dengan Junta. Ia pun harus bersegera menemukan gadis itu.

Suchart sama sekali tidak bisa melihat apapun di hadapannya. Namun, meskipun sedikit gentar, ia tetap berjalan maju. Meneruskan usahanya menemukan Junta. Dan tidak sia-sia. Senyumnya pun mengembang ketika pandangannya menangkap sosok sang gadis pujaan berdiri tak jauh dari tempatnya. "Junta!" Suara serak Suchart menimbulkan gema.

"Suchart?" wajah Junta terkaget. "Apa yang sedang kau lakukan di sini? Ini bukan tempatmu."
Suchart menatap Junta dengan raut berseri. "Aku menyusulmu."
"Apa?" Bagaimana kau bisa sampai sini?"
"Aku membunuh diriku sendiri, Junta. Aku menggantung diriku di pohon milik Nenek Lim. Awalnya aku tidak yakin bisa kembali bertemu denganmu. Tapi aku membulatkan tekad. Dan benar saja, sekarang aku bisa melihatmu. Bukankah ini mengagumkan?" Suchart sedikit menggebu. Ia tidak menyangka jika di alam ini dirinya bisa bersemangat.
"Bodoh!" sela Junta cepat. "Tuhan akan menghukummu, Suchart!"
Kening Suchart berkerut. "Mengapa? Apakah Tuhan juga akan menghukummu?"
"Setidaknya hukumanku akan lebih ringan. Aku mati karena sakit. Ada kesempatan Tuhan akan mengampuni dosa-dosaku."
Raut Suchart berubah. "Lalu, bagaimana denganku?" Mendadak saja ia memikirkan dirinya sendiri.
"Tuhan membenci seseorang yang membunuh dirinya sendiri, Suchart. Bunuh diri adalah bentuk keputusasaan. Tuhan tidak menyukainya. Ayolah, ada banyak tempat di mana kau bisa menemukan kebahagiaan. Kau harus mencarinya. Yakinlah, kau akan menemukannya. Ku mohon, Suchart!"

Seperti sebuah adegan film yang berpindah secepat kilat, sosok Junta pun hilang dalam sekejap. Keadaan kembali dingin dan gelap gulita. Sampai tiba-tiba...

Byurrr!

Seolah tenggelam di dasar lautan, Suchart mendapati dirinya sangat sulit bernapas. "Buka matamu!" Kemudian sebuah teriakan membuat matanya terbelalak dalam satu gerakan cepat. "Nenek Lim? Benarkah itu kau? Apa kau juga sudah mati?" Suchart sungguh terheran. Ia tidak pernah berharap Nenek Lim akan menyusulnya.
"Mati saja sendiri. Tapi jangan di tempatku!" ujar Nenek Lim dengan nada tinggi. Wanita tua itu kemudian memutar tubuhnya dengan gerakan lambat dan melengang santai meninggalkan Suchart.
"A-apa?" Kedua alis Suchart terangkat.

Pria itu pun mulai menyadari sesuatu. Saat ini, tubuhnya yang basah kuyup tengah tergeletak tepat di bawah pohon. Meskipun silau oleh sinar matahari yang begitu terik, ia melempar pandangan ke berbagai arah. Di sana, ada rumah Nenek Lim dan juga pemiliknya yang baru saja berlalu melewati pintu kayu yang reyot dan tua. Lalu, kepalanya yang pusing dan nyeri mulai mengingat sesuatu lainnya.

Ah ya. Tadi, saat dirinya siap bergelantungan dan hendak melepas pijakan, wanita tua itu mengayunkan tongkatnya sekuat tenaga ke arah kepala Suchart. Sudah pasti ia jatuh pingsan seketika. Kini Suchart mengerti. Ia masih hidup dan perkara bunuh dirinya pun ternyata... gagal!


-Tamat-


"... dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir." (Alquran 12:87)


Jul4,
Jul4,

Tarawih at MRU

Finally, it's paid off. Salah jamaah at Masjid Raya Unpad or MRU. Since my friend (let's call her Kim Nunik) was taking care of her ijazah on campus, two days ago I met her in Jatinangor. We started with meeting at Jatinangor Town Square (Jatos), looking for the ta'jil, and did Maghrib prayer. Of course, like usual we loved to haha-hihi at our first meet. Just because we were really happy with our meeting. Ha ha. :D
After that, we went to the Warung Suroboyo which it's location near from Jatos. We were breaking the fast with pecel lele as our favorite menu (or maybe my favorite one, hi hi)

From there, we went to the Masjid Raya Unpad for tarawih. But, since we were late because our dinner was took so long (oh no, actually because Kim Nunik went to the dorm first to put our friend's room key and waiting for another friends  to prepare tarawih, that makes me wait alone in front of Alfamart -.-), so our Isha prayer was left behind. Therefore, we were in a hurry alias grusa-grusu -,-". But, alhamdulillah we could start tarawih on time. Because there was tausiyah before it began, and we did the Isha prayer during it.


By the way, Masjid Raya Unpad has unique architecture design. It is not like a most of another masjid. But it does not make the ambience become less. It is stay islami. :)
Woman area is on the second floor. Yeah, I feel comfort and so glad. When I was a student in this college, I really miss the presence of a campus's masjid which so 'alive'. And now it really comes. Alhamdulillah :))

May Allah shower the Masjid Raya Unpad and it's jamaah with blessing and makes it as a nice place to share Islam value for many people. Aamiin.






Jun22,
Jun22,

Outliers (Book)


I've just finished read a book. Outliers by Malcolm Gladwell. This book is one of the non fiction book that makes me not be patient to read  the next page. Every story he told makes me curious about how the ending. There is always a 'surprise point' on each the stories, so I often nodded and said to myself, "Oh iya ya? Masa sih?" Then, smile.

Outliers tells about success. In my opinion Gladwell's point of view is unique. He argues that to understand about successful people, we need to know about their 'background', such as their family, their birthplace, or even their birth date.This book say as if people's success depends on their generation, family, culture, and social class. Yeah, his perspective is different than most people. :)

I also like Gladwell's writing style. Since this book is full of the story, it is like a novel. I really enjoy it.

Practice isn't the thing you do once you;re good. It's the thing you do that makes you good.
Who we are cannot be separated from where we are from.
 Achievement is talent plus preparation.

image source: here (I haven't take this book picture :D)
Jun20,
Jun20,

Ramadhan Kareem



Alhamdulillah today is the third day of Ramadhan. I'm very grateful because this time I do the Ramadhan at home (actually at my older brother's home in Bandung, hihi). Since I've resigned from my former NGO in Jakarta this month, so I've came back to Bandung.

Of course, it's make my feeling mixed like colorful palette on canvas, between glad and sad. Glad because i have more time to gathered with my family and also could focus to pray better. Sad because it means now I'm an unemployed. :D

But overall it's okay for me. Allah always guarantee rezeki for everyone, include me. Even rezeki for a small animal like a termite is guaranteed by Allah. The most important thing is never stop to make du'a, keep effort, and keep try to become a better person who can share values for other people. InshaaAllah.

May Allah bless me and my family until the end of Ramadhan. And keep us together until jannah. Aamiin. :)


image source: here
May16,
May16,

Kata Sundari

Mimpi. Awalnya, bagi Djamal, kata ini begitu sederhana dan sangat dekat dengan kehidupannya. Ia tinggal pergi tidur, maka mimpi pun datang tanpa basa-basi. Namun, beberapa hari terakhir kata tersebut menjadi rumit baginya. Tepatnya saat kawan sekelasnya, Sundari, perempuan yang diketahui Djamal keturunan asli Jawa itu mengatakan, "Aku punya mimpi jadi orang besar nanti."

Djamal tidak mengerti. Memangnya ingin sebesar apalagi kawannya itu? Tubuhnya sudah cukup gempal, hingga selalu berada di posisi paling belakang setiap lari pemanasan sebelum pelajaran olahraga.
"Bukan mimpi yang datang waktu tidur maksudku, tapi cita-cita. Aku ingin menjadi orang besar. Sukses dan kaya. Sudah besar nanti, aku akan merantau ke Jakarta." Sundari menjelaskan, tapi Djamal masih belum mengerti. Ia bertanya lagi, "Apa hubungannya menjadi orang besar dan merantau ke Jakarta, Ndar?"

Seketika kedua mata Sundari berbinar. "Kamu tahu kan, Jakarta itu ibukota negara. Kota besar, Mal. Menang jauh sama Kalianda. Kata bapakku, di Jakarta banyak gedung tinggi. Kalau kamu kerja di situ, kamu bisa dapat uang banyak."
"Kerja apa, Ndar?" sela Djamal, benar-benar penasaran. Pekerjaan yang dia tahu adalah bertani, berkebun, berdagang, jadi awak kapal, montir, guru, ngantor di balai desa. Kalau sedikit lebih keren, di kota sana, jadi pegawai kabupaten. Atau satu lagi pekerjaan yang menurut Djamal paling menarik, jadi pemandu wisata. Hanya itu.
Bekerja di gedung? Untuk sekedar membayangkannya saja, Djamal bingung.

Sama dengan Djamal, Sundari pun tampak bingung. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Iya ya, kerja apa? Nanti aku tanyain ke bapakku dulu, Mal."
Tapi, meskipun sempat bingung, Sundari tetap lanjut bercerita tentang Jakarta-nya. Kata Sundari, di sana semua jalanan berukuran besar dan beraspal, karena itu banyak mobil bagus yang lewat. Selain gedung tingginya yang dipakai bekerja, banyak juga gedung tinggi yang dipakai untuk liburan atau jalan-jalan. Lantainya bersih dan mengkilat, serta memiliki udara yang begitu sejuk. Sundari mengatakan, gedung di sana menggunakan teknologi seperti kipas angin yang lebih canggih.

Dari cerita Sundari, Jakarta yang disebutnya terdengar indah. Perempuan itu bahkan membandingkannya dengan Kalianda. Kota yang bagi Djamal sungguh sangat indah. Dari pulau tempat tinggalnya ini, kota tersebut dapat ditempuh selama satu setengah jam dengan perahu motor. Ada banyak pantai di sana. Sangat indah, seperti di pulaunya ini. Lautan biru dihiasi oleh pulau-pulau kecil yang membukit rendah di tengahnya. Pasir putih selalu bergemerisik dan sesekali terbawa oleh gerak debur ombak. Embusan anginnya sepoi-sepoi dan mampu menggoyangkan nyiur pohon kelapa di atas sana. Di sini Djamal bisa menikmati bentangan langit jingga, di timur saat pagi dan di barat saat sore. Belum lagi panorama menawan yang juga menyajikan bukti sejarah, gugusan Anak Krakatau. Bagaimana bisa ada tempat lain yang lebih indah?

***

Djamal terkesiap.
Seperti baru tersadar dari tidur panjang, kedua mata Djamal mengerjap untuk membenarkan penglihatannya. Tak jauh dari posisinya, tampak para warga dusun tergopoh-gopoh mengangkat berbagai hasil buminya ke atas perahu motor. Penyeberangan ke dermaga Canti berangkat sebentar lagi.

Pria tersebut bangun dari duduknya. Lalu, membersihkan serpihan pasir yang menempel di celananya dengan menepuk bagian yang kotor dan sesekali menggoyangkan kaki. Sebelum bergerak menuju perahu bersama penumpang lainnya, Djamal menarik napas panjang dan mendesahkannya pelan. Langkahnya sungguh berat.

Perjalannya tidak hanya sampai di dermaga Canti. Dari sana ia harus melanjutkan perjalanan ke pelabuhan Bakauheni, menyeberang hingga pelabuhan Merak, dan bergerak menuju ke sebuah tempat yang penuh dengan gedung tinggi dan jalan beraspal.

Ya. Jakarta. Yang tak seindah kata Sundari.
Copyright @ Gettar's | Floral Day theme designed by SimplyWP | Bloggerized by GirlyBlogger | Distributed by Deluxe Templates
Blogger Templates