Arimbi tersenyum, lalu mempersilakan wanita tersebut masuk dan duduk di sofa ruang tamu.
“Panggil saja saya Jum… Kalau Bu Radhiya sekeluarga biasanya memanggil saya Bik Jum. Ah… sebenernya kan kita sudah kenal ya, Bu? Sudah sering ketemu juga. Ibu Arimbi sudah tahu. Tapi ya… sekarang kan beda, jadi saya pingin perkenalan formil ke Ibu.”
Di depannya Arimbi melebarkan mata dan mengangguk pelan. Sebelumnya ia sempat sedikit terkejut, karena di luar dugaan, Bik Jum berinisiatif memperkenalkan diri tanpa perlu basa-basi terlebih dulu. Selanjutnya Arimbi memaklumi dan mulai bersuara. “Iya, betul.” Lalu, tersenyum.
“Saya kerja di Bu Radhiya setiap hari Senin, Rabu, sama Jumat. Jadi saya bisa kerja di sini hari Selasa, Kamis, sama Sabtu,” ujar Bik Jum, meneguk teh hangat yang baru saja dikeluarkan oleh Arimbi, dan kembali membuka mulut untuk berucap, “Begitu kan, Bu?”
“Oh?” Arimbi yang kembali terheran karena ke-proaktif-an Bik Jum menjawab singkat. “Iya, Bik Jum. Betul.”
Senyum tersungging di wajah Bik Jum dan memperlihatkan deretan gigi penuh selipan noda. “Ngomong-ngomong Bapak ke mana, Bu? Kok sepi? Pagi-pagi gini sudah ngantor ya?”
“I-iya?” Arimbi mengangkat alis. “Oh iya, Bapak lagi ke Semarang beberapa hari,” jawab Arimbi, lalu melanjutkan, “Bik Jum udah sarapan?”
Wanita itu menggeleng sambil tersenyum malu-malu. Sementara Arimbi menahan tawa yang hampir terlepas. Noda cabai dan sayur yang baru saja dilihatnya di sela-sela gigi Bik Jum membuatnya setengah tidak percaya. “Ya udah, sarapan dulu yuk. Habis itu Bik Jum bisa mulai beberes.”
“Baik, Bu.”
***
Listy yang siang itu mengenakan jilbab berwarna hijau toska menghambur ke arah Arimbi dan mencium pipi kanan dan kirinya. “Sumringah bener wajah lo. Omset naik nih kayanya,” ucap Listy dengan nada menggoda.
“Ha ha. Bisa aja lo. Gimana nggak seneng gue? Akhirnya dapet juga asisten rumah tangga baru. Jadi pulang dari toko gue bisa santai deh.” Arimbi menanggapi jujur. Sudah hampir dua bulan sejak asisten rumah tangga sebelumnya berhenti, wanita muda itu masih harus mengurus rumah meski sudah seharian mengelola toko pakaiannya.
“Oh iya, gimana gimana? Akhirnya lo dapet dari mana?” Listy bertanya penasaran.
“Sebenernya dia kerja di tetangga gue, Bu Radhiya, itu lho, yang rumahnya jarak dua rumah dari rumah di depan gue. Tapi seminggu cuma tiga hari. Jadi kerja di gue ya tiga hari sisanya.”
“Sebentar,” Listy menyela. “Bu Radhiya yang suaminya kerja di perusahaan asuransi itu?”
Arimbi mengangguk. “Iya. Lo kan pernah gue kenalin.”
“Bukannya lo bilang bibi yang kerja di situ orangnya suka ngegosip?”
Arimbi menatap Listy, lalu tersenyum. Sementara sahabatnya itu justru mencubit Arimbi. “Emang lo nggak cemas si bibi bakal ngegosipin lo di luar sana?”
“Ya cemas lah,” jawab Arimbi cepat, lalu menghela napas panjang. “Habisnya gue ngeri sama yang belum kenal. Jadi gue ambil resiko deh.” Pikiran wanita itu langsung melayang ke hari kemarin. Saat itu Bik Jum sedang membereskan halaman belakang. Sementara Arimbi sedang membaca-baca resep makanan, Bik Jum tidak berhenti menceritakan tentang keponakannya.
“Keponakan saya anaknya cantik, Bu. Orangnya juga cekatan, makanya dia nggak boleh keluar sama majikannya di luar negeri sana. Tapi ya gitu…” Bik Jum menggantung kalimat yang membuat Arimbi penasaran. Lalu tanpa diminta, kembali melanjutkannya dengan suara yang lebih pelan dan bibir lebih maju. “…anaknya genit sama suka dandan. Makanya kemarin pulang-pulang bawa anak. Mukanya bule. Katanya sih sama temen majikannya.”
Arimbi bergidik sambil istighfar. Bagaimana ia tidak khawatir jika suatu hari nanti aibnya diceritakan oleh seseorang dengan cara demikian? Astaghfirullah…
***
“Bikin bakwan, Bu? Tapi kok besar-besar banget?”
Arimbi sempat berpikir sebelum menjawab pertanyaan Bik Jum. Okonomiyaki buatannya memang lebih mirip bakwan berukuran besar daripada tampilan seharusnya. “Iya, Bik. Bakwan Jepang.”
“Oh? Di Jepang ada bakwan juga ya?”
“Namanya okonomiyaki, sebenernya semacam martabak telur tapi pakai sayuran,” jawab Arimbi sambil menata hasil masakannya di atas piring putih persegi.
Bik Jum mengangguk-angguk mengerti. Ia sedang mengelapi piring-piring basah yang baru saja dicucinya. “Ngomong-ngomong soal Jepang, tetangga saya ada lho Bu yang kerja di Jepang, di pabrik sepeda. Gajinya gede, Bu. Lebaran kemarin aja bisa beliin bapaknya sepeda motor. Kan suka ngojek tuh. Ibunya juga dibeliin tivi model baru yang ukurannya gede.”
“Wah anak berbakti dong ya? Pasti seneng orangtuanya.” Arimbi menanggapi seadanya sambil tersenyum.
“Tapi tetangga saya itu, ibunya, kasian deh. Sakit stroke udah tiga tahun, makanya sekarang cuma bisa nonton tivi kerjaannya.” Bik Jum menghentikan kalimat, lalu menggeser dan sedikit merapatkan tubuhnya ke arah Arimbi. “Awalnya gegara tahu suaminya selingkuh sama biduan kampung sebelah. Makanya darah tingginya sering naik, terus lama-lama stroke,” ujar Bik Jum memelankan suaranya.
Arimbi memindahkan piring sajinya ke meja makan. Ia berniat untuk mengalihkan obrolan. “Oh iya Bik, rumput halaman depan udah dipotongin? Kemarin…” kalimat Arimbi terpotong, karena ternyata Bik Jum masih meneruskan bicaranya. Kali ini suaranya kembali normal dan bahkan sedikit lebih keras.
“Padahal berapa sih duit yang didapet dari ngojek! Dasar lelaki ya, Bu. Buat makan aja susah, masih kepikiran buat beliin sepatu merek buat biduan pujaan. Gimana istrinya nggak stroke kan? Untung-untung nggak sampe jantungan.”
“Bik Jum…” Arimbi menyela.
“Iya, Bu?”
“Tadi saya nanya lho, rumput halaman depan udah dipotong?” Arimbi masih berusaha menunjukkan wajah ramah, meskipun dalam hatinya ia sedikit kesal.
“Belum, Bu. Habis ini nanti saya potongin.”
Arimbi mengangguk. “Oke.”
“Tapi emang sih, Bu. Denger-denger biduannya seksi bener. Makanya tahun kemarin pernah jadi simpenan juragan besi yang nyalon jadi anggota DPRD. Sampai dibeliin mobil segala. Udah gitu, Bu…”
Bik Jum pun masih melanjutkan ocehannya. Sementara di tempatnya, Arimbi terduduk memandangi okonomiyaki-nya seraya mulai mendesah pasrah.
bersambung...
*Pelantun Buah Bibir (part 3)
0 comments:
Post a Comment