Jan21,
Jan21,

Pelantun Buah Bibir (part 2)

“Bu Arimbi yang sabar aja ya,” ucap Bu Radhiya sambil meletakkan secangkir teh panas yang masih mengepul di atas meja. “Silakan diminum,” lanjutnya.
Arimbi tersenyum. “Makasih, Bu.”
“Sering-sering ingetin aja, supaya Bik Jum nggak usah ngobrolin yang aneh-aneh pas lagi kerja.”
Arimbi menyesap tehnya, lalu tersenyum tipis. “Oh iya, berarti Bik Jum udah kerja sama Ibu berapa lama ya?”

Bu Radhiya memutar bola matanya berpikir. “Sekitar satu setengah tahun, Bu.”
“Lumayan lama juga ya?” Arimbi melebarkan kedua matanya. “Memang Ibu nggak takut Bik Jum ngegosipin Ibu di luar sana?”
“Pasti khawatir lah, Bu. Saya kan udah sering bilang juga ke Bu Arimbi. Makanya saya ati-ati banget kalau di depan Bik Jum. Nggak berani curhat soal rumah tangga. Di sisi lain, mau berhentiin juga kasihan. Anak-anaknya masih pada sekolah.”

Arimbi mencerna kalimat Bu Radhiya baru saja. Ah… Bik Jum baru menginjak minggu kedua bekerja sebagai asistennya. Baiklah. Ke depan ia akan lebih bersabar dan berusaha mengingatkan lagi.
Setelah keduanya melanjutkan perbincangan—dengan topik lain tentunya—Arimbi berpamitan pulang. Di tengah jalan, ia pun bertemu dengan Bu Yogita, seorang tetangga yang tinggal lumayan jauh dari rumah Arimbi.

“Mau ke mana, Bu?”
“Ke rumah Bu Radhiya. Biasa… nganterin jahitan. Bu Arimbi mau ke mana?” Bu Yogita menerima sapaan Arimbi dan balik bertanya.
Arimbi tersenyum. “Mau pulang. Saya juga baru dari rumah Bu Radhiya.”
“Wah, harusnya saya dateng lebih cepet ya.”
Arimbi kembali tersenyum. “Nanti deh kita kumpul-kumpul lagi.”

“Iya ayo…” sahut Bu Yogita. “Oh iya, katanya suami ke luar kota lama? Main aja ke rumah kalau sepi sendirian.”
“Oh?” Arimbi terkejut. Lalu, segera tersenyum lebar dan menjawab, “Siap. Besok sore saya ke rumah Ibu ya. InsyaAllah.”
Bagaimana bisa Bu Yogita tahu soal suaminya? Ah! Pasti… Arimbi pun mendesah panjang, kemudian beristighfar. Kini hanya ada satu nama yang bertengger di otaknya.
Bik Jum.

***

Saat musim hujan seperti ini, hujan datang tidak kenal waktu. Sejak turun tengah malam tadi, pagi ini hujan masih belum mereda. Arimbi yang sedang merasa tidak enak badan memutuskan untuk tetap di rumah dan meminta pekerjanya saja untuk menjaga toko. Sekitar pukul sembilan, ia keluar dari kamar dan berniat membuat secangkir teh hijau untuk menghangatkan tubuh. Ketika itu dijumpainya Bik Jum sedang mengepel lantai teras belakang.

“Nggak usah dipel dulu aja, Bik. Kalau hujannya belum reda, pasti kotor terus. Nggak apa-apa. Nanti aja dipelnya,” ucap Arimbi dengan nada setengah berteriak, mengingat suara seraknya harus beradu dengan deru hujan di luar sana.
Tubuh gempal Bik Jum yang tengah berjongkok berhenti dan menoleh. “Nggak apa-apa, Bu? Barangkali nanti Bu Arimbi kepeleset.”

Arimbi tidak dapat menahan senyumnya mendengar tanggapan Bik Jum. “Nggak, Bik. Saya nggak akan ke situ dulu deh, biar nggak kepeleset.”
Senyum Bik Jum pun mengembang. “Baik, Bu.”
“Hujan-hujan gini enaknya minum yang anget-anget. Mending Bik Jum temenin saya nge-teh dulu di sini,” tawar Arimbi yang sudah duduk manis di ruang makan bersama teh hijau-nya.
Bik Jum yang baru saja merapikan peralatan pel segera datang menghampiri Arimbi. “Mau saya bikinin pisang goreng, Bu? Biar lengkap.”
“Boleh boleh,” jawab Arimbi dengan senyum lebar.

Tidak lama kemudian keduanya duduk bersama menikmati teh dan pisang goreng hangat buatan Bik Jum. Sebelumnya wanita paruh baya itu mengeluhkan rasa teh hijau yang menurutnya pahit dan tidak sesedap teh melati biasa. Sedangkan Arimbi menceritakan khasiat dari teh hijau yang tetap ia minum, meskipun sebenarnya ia pun setuju bahwa teh melati biasa memang jauh lebih nikmat.
Pada perbincangan ini Arimbi berusaha mengarahkan obrolan. Ia yang banyak bertanya seputar keluarga Bik Jum—termasuk tentang anak-anak dan kampung halamannya. Bik Jum pun tanpa segan menjawab panjang lebar pertanyaan-pertanyaan Arimbi.

Setelah keduanya selesai, Arimbi baru saja akan beranjak menuju ruang tengah saat pertanyaan Bik Jum menarik perhatiannya. Wanita paruh baya itu sedang mencuci cangkir-cangkir dan beberapa penggorengan yang baru saja digunakan.
“Memang ada apa dengan suami Bu Radhiya, Bik?” Arimbi menunda langkah kakinya dan berbalik menuju dapur. Ada rasa penasaran dari nada bicaranya.

Lagi-lagi Arimbi menangkap gerak-gerik yang biasa Bik Jum lakukan jika akan menceritakan sesuatu. Sedikit menengok ke kanan dan kiri seolah memastikan tidak ada seorangpun yang sedang mengawasi, mendekatkan tubuh, mengecilkan suara, memicingkan mata, dan mendorong maju bibirnya. Mungkin karena menyangkut orang yang dikenalnya, kali ini tanpa sadar Arimbi ikut mendekatkan telinganya ke arah Bik Jum. Kedua matanya melebar, bersiap mendengar sesuatu yang tidak biasa.

“Kemarin saya nggak sengaja denger Ibu sama Bapak berantem.” Bik Jum memulai kalimatnya. Ibu dan bapak yang ia maksud adalah Bu Radhiya dan suaminya.
Seketika alis Arimbi terangkat. Ia masih tidak beranjak dan bahkan menanti kalimat Bik Jum selanjutnya.

“Gara-gara saya nemuin struk belanja kebutuhan bulanan di celana Bapak dan saya kasih lihat ke Ibu,” lanjut Bik Jum masih dengan suara pelan. “Padahal itu bukan belanjaan punya Ibu. Makanya si Ibu langsung curiga ke Bapak.”
“Terus Bu Radhiya gimana?” tanya Arimbi dengan nada suara meninggi dan tanpa sadar mendapati dirinya emosi.
Bik Jum, dengan kedua tangannya yang lihai membersihkan busa sabun pada wajan melalui kucuran air kran, menjawab dengan nada penuh simpati. “Setelah sempet berantem sama Bapak, ya nangislah di kamarnya.”

Entah mengapa pikiran Arimbi langsung melompat mengingat suaminya, yang beberapa hari ini kembali pergi keluar kota untuk urusan pekerjaan. Dadanya juga mendadak sesak karena rasa curiga yang tiba-tiba menjalari tubuhnya.

Kemudian, seketika, seperti ada sengatan listrik datang mengenai kepalanya. Membuat Arimbi segera beristighfar. Berkali-kali. Apa yang baru saja ia lakukan? Membicarakan tetangganya? Dan lebih buruk lagi, mencurigai suaminya?

“Astaghfirullah…” gumam Arimbi.
“Namanya juga kehidupan rumah tangga ya, Bu.” Bik Jum menyahut.
“Bukan itu.” Arimbi menarik napas panjang. “Harusnya Bik Jum nggak usah nyeritain itu ke saya. Kita jadi ngobrolin urusan rumah tangga orang kan? Ghibah, Bik. Kita jadi ibarat makan bangkai saudara sendiri.” Wanita muda tersebut menggeleng-gelengkan kepala. Bergidik. “Nanti-nanti jangan biasain gosip ah.”

“Tapi ini bukan gosip, Bu. Fakta,” Bik Jum menyela.
“Kalau memang fakta, kita ghibah. Kalau bukan fakta, kita fitnah. Dua-duanya nggak baik dan nggak bener, Bik.” Kali ini suara Arimbi bernada menegaskan. Berharap Bik Jum, dan juga dirinya, tidak akan mengulangi hal seperti ini.

Bik Jum terdiam, lalu dengan nada menyesal berkata, “Maafin saya, Bu.”
Namun, seperti kebiasaan lainnya. Rutinitas melantunkan buah bibir tidaklah mudah untuk berubah. Pun dengan Bik Jum.


0 comments:

Post a Comment

Copyright @ Gettar's | Floral Day theme designed by SimplyWP | Bloggerized by GirlyBlogger | Distributed by Deluxe Templates
Blogger Templates