Sekarang sudah memasuki bulan Januari. Musim hujan masih belum berlalu.
Bagi sebagian orang curahan air langit itu kerap menjadi keluhan. Biasanya karena mereka akan sulit untuk bepergian. Hujan membuat sepatu mereka lebih mudah kotor. Pakaian yang melekat lebih mudah lusuh. Gaya rambut sering mendadak berantakan. Bahkan, mengurus payung basah yang baru dipakai terasa begitu mengganggu aktivitas. Sangat merepotkan. Lagipula hawa dingin membuat mereka lebih nyaman berada di balik selimut kesayangan. Belum lagi anginnya yang berembus kencang, tidak jarang membuat badan meriang.
Namun selalu saja ada hal yang bisa disyukuri. Musim hujan bagi sebagian orang lainnya bisa membuat mereka merasakan nikmat yang tidak biasa. Saat meneguk secangkir kopi panas misalnya. Merasakan kehangatannya yang menjalari tubuh merupakan kenikmatan yang sulit dilukiskan. Atau menyantap semangkuk mie instan rebus yang akan terasa lebih lezat dibandingkan seporsi mie restauran Asia terkenal. Bahkan, hanya sekedar bersantai mendengar deras sang hujan sambil menghirup wangi petrikor pun menjadi suasana yang akan dirindukan. Tidak jarang pulan hal sederhana seperti berteduh, diiringi tawa dan cerita kawan-kawan, menjadi hal yang begitu hangat di musim ini. Sama sekali tidak merepotkan. Justru sebaliknya, sangat menyenangkan.
Di musim hujan, halte di pinggiran jalan menjadi tempat favorit orang-orang. Dia menjadi tempat berteduh. Di mana orang-orang akan melindungi anggota tubuh mereka dari guyuran air yang jatuh dari langit. Halte juga menjadi tempat bagi mereka yang menunggu. Menunggu sang hujan reda. Menunggu kawan yang akan pulang bersama. Atau menunggu sesuatu yang akan membawa mereka pergi. Seperti mobil jemputan, payung tumpangan, atau angkutan kota tujuan pulang.
Musim hujan menjadikan halte bagai sebuah tempat bermagnet. Dia menarik orang-orang yang ada di sekitarnya. Lalu membuat mereka bertahan selama beberapa waktu. Tidak terkecuali Halte 1001--yang berdiri tegak di depan sebuah bangunan yang sangat dicintai penghuninya, SMA 1001--pun mengalami hal serupa.
Hanya saja tepat saat ini Halte 1001 sudah ditinggalkan orang-orang. Sejak hujan mereda lima belas menit yang lalu, mereka satu per satu pergi. Memang selalu ada akhir di setiap permulaan, pada setiap kejadian di dunia. Lagipula ini sudah pukul setengah lima sore. Jam pulang sekolah sudah berlalu lebih dari dua jam.
"Allahumma shoyyiban naafi'an."
Ya. Sebenarnya hujan belum benar-benar reda. Masih ada rintik air yang turun. Karena itu Diama kembali mengulang doa tersebut. Ya Allah, jadikanlah hujan ini sebagai hujan yang membawa kebaikan. Ahh. Hujan dan doa. Keduanya sungguh memiliki hubungan yang romantis. Betapa tidak, bukankah hujan menjadi waktu yang sangat baik bagi sebuah lantunan doa?
Gadis itu duduk di ujung bangku halte. Ia membiarkan rok abu-abunya basah begitu saja, menempel pada titik-titik air yang didudukinya. Diama baru saja meninggalkan rapat panitia MOS yang masih berlangsung di ruang OSIS. Ia sudah berjanji pada Mami selepas Maghrib nanti akan mengantar berbelanja. Jadi mau tidak mau ia izin pulang lebih awal.
Entah dari mana datangnya, Diama tidak menyadari itu. Di seberang jalan sana muncul seseorang yang kini sedang menatapnya sambil tersenyum. Diama pun balas tersenyum. Meskipun sebenarnya ia lebih merasa heran. Kenapa anak itu sering sekali muncul tiba-tiba seperti hantu-hantu di film?
"Sendirian?"
"Tadinya." Diama menoleh sebentar dengan alis terangkat. "Ngapain sore-sore di sini?" Lalu sebelum pertanyaan terjawab, siswi itu segera menambahkan dengan nada setengah mengancam, "Jangan balik nanya."
bersambung...
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment